Secara astronomis Kabupaten Kepulauan Aru terletak antara 134o2’59” BT – 134o 54’35” BT dan 5o19’50” LS - 7o6’13,56”. Luas wilayah Kabupaten Kepulauan Aru yakni 6.374,80 km2 dan memiliki 187 buah pulau. Berdasarkan klasifikasinya, terdapat 5 buah pulau besar yakni Pulau Wokam, Kobror, Maekor, Trangan dan Kola. Secara administratif Kabupaten Kepulauan Aru terdiri dari 3 kecamatan yakni Kecamatan Aru dengan ibukota Dobo, Kecamatan Aru Tengah dengan ibukota Benjina dan Kecamatan Aru Selatan dengan ibu kota Jerol. Pulau Enu merupakan bagian dari Kecamatan Aru Selatan.
Penampakkan P. Enu dari Kejauhan
Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 78 tahun 2005 tentang Pulau-pulau Perbatasan, maka Pulau Enu, yang adalah merupakan salah satu dari 92 pulau-pulau yang termasuk ke dalam kategori pulau-pulau perbatasan, terletak pada posisi 07º06’14“ S dan 134º11’38“ T. Luas total dari pulau yang terletak pada bagian tenggara Kepulauan Aru ini, berdasarkan hasil penginderaan data citra dan juga setelah dikonfirmasi dengan menggunakan data lapangan, diketahui sebesar 16,74 km2. Sementara keliling pulau ini adalah sekitar 21,76 km.
Peta Pulau Enu
2.2. Aksesibilitas
Untuk mencapai P. Enu dan desa-desa di Kawasan Aru Tenggara, tidak ada sarana angkutan reguler dari Kota Dobo sehingga harus menggunakan Speedboat sewaan dengan tarif Rp. 1.000.000,- per hari (tidak termasuk bahan bakar). Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai P. Enu dengan menggunakan Speedboat bermesin ganda (masing-masing 40 PK/HP) yaitu antara 7 – 8 jam. Akan tetapi, waktu kembali ke Kota Dobo harus menyinggahi desa-desa di Aru Tenggara untuk mengisi bahan bakar, khususnya minyak tanah. Dengan demikian, kendala utama terkait dengan kelancaran operasional ke P. Enu adalah bahan bakar bagi sarana transportasi yang perlu untuk dicari solusinya agar tidak menghambat rencana dan upaya pengembangan pulau kecil terluar perbatasan ini.
Di lain sisi, waktu tempuh ke P. Enu bisa lebih cepat atau lambat tergantung pada beberapa faktor seperti ukuran dan tipe Speedboat, jumlah muatan (termasuk penumpang dan BBM cadangan), kondisi pasang surut serta pengetahuan dan ketrampilan pengemudi tentang jalur pelayaran. Faktor yang disebut terakhir ini juga penting mengingat banyak serta luasnya bagian laut yang kering atau hampir kering pada saat air surut dan kanal yang tidak buntu sehingga dapat mengganggu pelayaran.
LINGKUNGAN BIOFISIK
Geomorfologi Pulau dan Pesisir
Pada dasarnya topografi Pulau Enu relatif sama dengan pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Aru, khususnya Arus Tenggara, yaitu berdataran rendah. Pulaunya terbentuk dari jenis batuan Aluvium dengan jenis tanah berupa Aluvial, Podzolik merah kuning, Renzina dan Hidromorfik kelabu, serta pesisir pantainya berawa-rawa.
Substrat Pasir Zona Pantai Kering dan Sebagian Zona Pasut serta Substrat Keras (Berbatu) dari sebagian Zona Pasut P. Enu Bagian Utara – Barat
P. Enu memiliki topografi yang datar tanpa adanya bukit dan gunung. Di pulau kecil ini tidak terdapat sistem sungai. Topografi pantai P. Enu tergolong landai, terutama di bagian barat dan selatan pulau, serta tidak terdapat kanal (Kalorang istilah masyarakat sekitarnya). Dengan demikian karakteristik P. Enu relatif berbeda dengan pulau-pulau yang letaknya dekat dengan pulau-pulau besar yang memiliki banyak kanal sebagai alur pelayaran masyarakat setempat.
Sebagian zona pasang surut (Pasut) ke arah pantai kering P. Enu umumnya bersubstrat lunak, yaitu tersusun dari komponen pasir kasar hingga pasir halus. Sementara bagian pertengahan zona pasut hingga berbatasan dengan zona sub-pasut memiliki substrat keras yang tersusun oleh komponen batuan koral yang dominan.
Oseanografi Pesisir dan Laut
Iklim
Iklim di gugusan Kepulauan Aru, termasuk P. Enu sesuai klasifikasi Schmid dan Ferguson (1951) termasuk tipe iklim C dengan nilai Q = 0,19 dengan curah hujan tahunan bervariasi dari 2000 - 3000 mm. Jumlah hari hujan rata-rata adalah 105 hari dan curah hujan tertinggi terjadi antara bulan Januari hingga Maret. Jumlah rata-rata bulan basah 9 bulan dan bulan kering 1,7 bulan.
Hujan biasanya terjadi pada musim Barat, tetapi pada musim Timur juga sering turun hujan yakni pada bulan Mei dan Agustus. Kadang-kadang terjadi pergeseran musim, baik musim Timur maupun musim Barat. Nilai curah hujan rata-rata berkisar antara 2.000 – 3000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata adalah 105 hari. Nilai curah hujan tertinggi terjadi antara bulan Januari hingga Maret.
Pasang Surut dan Arus
Pasang surut di P. Enu terjadi dua kali sehari (Tipe Harian Ganda). Jangkauan pasang surut mencapai 1-2 m dengan MSL sekitar 11,5 m. Arus yang terjadi di sekitar P. Enu didominasi oleh arus pasut, kecuali di antara P. Enu dan P. Karang serta antara P. Enu dan P. Trangan yang sedikit dipengaruhi oleh arus laut Arafura. Kecepatan arus bervariasi antar bagian dari P. Enu ini dengan kisaran antara 7,8 – 30,4 cm/detik saat surut dan 8,5 – 52,7 cm/detik. Kecepatan arus terbesar ditemukan di bagian timur arah utara, barat dan selatan dari pulau, sehingga terdeteksi adanya fenomena gerakan melingkar masa air (Eddys) pada daerah tanjung dari ketiga bagian P. Enu tersebut.
Gelombang
Gelombang di seluruh wilayah pesisir dan laut P. Enu merupakan tipe gelombang angin (variasi Sea dan Swell), dimana angin sebagai pembangkit utama yang umumnya bervariasi sesuai musim. Sesuai letaknya maka bagian utara pulau umumnya relatif tenang ketika bertiup angin timur, angin barat maupun angin barat daya, dibandingkan dengan posisi pulau bagian barat, timur dan selatan. Pulau bagian barat relatif tenang bila bertiup angin timur dan sebaliknya bagian timur pulau relatif tenang bila bertiup angin barat. Kondisi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk berlindung dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di sekitar P. Enu dapat dilakukan sepanjang musim.
Terdapat 3 tipe gelombang pecah di pantai P. Enu yaitu spilling, plunging dan surgin. Dominasi gelombang pecah berbeda-beda di tiap bagian pulau ini. Di pantai bagian barat, timur dan selatan pulau didominasi oleh gelombang pecah tipe plunging dan surgin, tetapi pada bagian-bagian pulau yang relatif dangkal lebih didominasi oleh gelombang pecah tipe spilling.
Kualitas Air
Suhu di seluruh perairan pesisir dan laut sekitar P. Enu bervariasi secara musiman. Suhu terendah terjadi di musim timur yaitu berkisar antara 24,5 -25,60C, dan tertinggi dalam musim barat yaitu 27,8 – 300C. Sepanjang musim, suhu permukaan berkisar antara 26,2 – 300C. Nilai rata-rata salinitas di lapisan permukaan perairan P. Enu pada musim barat berkisar antara 34,0 – 35 ppt, sementara di musim timur mencapai 31,2 – 34,8 ppt.
Konsentrasi padatan tersuspensi di perairan sekitar P. Enu sebesar 0,006 mg/ 600 ml/det. Tinggi rendahnya variasi nilai padatan tersuspensi disebabkan ada perbedaan laju konsentrasi materi tersuspensi dan jarak lokasi dengan sumber asal sedimen di perairan sekitar P. Enu. Sumber utama partikel tersuspensi di perairan ini berasal dari aktivitas penangkapan udang dengan menggunakan pukat harimau (Trawl).
Kandungan oksigen terlarut di lapisan permukaan perairan pulau kecil perbatasan ini antara 5,23 – 7,35 ppm. Pada perairan dangkal sekitar komunitas lamun dan mangrove di bagian utara pulau, tercatat kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,1 – 6,4 ppm.
Nilai pH di perairan sekitar P. Enu bervariasi menurut lokasi dengan perbedaan yang relatif kecil. Pada bagian timur, barat dan selatan dari pulau, nilai pH dari kolom air permukaan berkisar antara 8,15 – 8,61. Sementara di bagian utara dari pulau, nilai pH berkisar antara 7,9 – 8,58.
Fluktuasi nilai hara di perairan P. Enu sangat bergantung pada input yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Selain pasang surut, tampaknya faktor musim memberi kontribusi yang nyata terhadap besarnya fluktuasi kandungan fosfat, nitrit dan nitrat. Perairan bagian barat, timur dan selatan memilki kandungan fosfat antara 0,09 – 0,52 mg/ltr, nitrit berkisar antara 0,001 – 0,005 mg/ltr, sementara kadar nitrat di perairan bagian utara antara 0,9 – 1,30 mg/ltr.
Kisaran nilai suhu, salinitas, kadar oksigen terlarut, pH, dan zat hara tersebut berada dalam batas normal dan layak untuk berbagai kepentingan pengembangan perikanan, terutama perikanan budidaya, terhadap komoditas tertentu (pilihan), wisata bahari, dan konservasi. Bahkan nilai-nilai kualitas perairan tersebut tergolong optimal bagi perikanan pelagis kecil maupun pelagis besar.
Habitat Utama
Vegetasi Terestrial
Sebagian besar daratan P. Enu dihiasi dengan vegetasi mangrove (58,53%) dan sisanya sebanyak 41,47% ditutupi oleh semak belukar. Hutan mangrove mendominasi bagian tengah pulau, sementara semak belukar hampir mengelilingi seluruh areal hutan mangrove. Jenis-jenis vegetasi pantai yang terdapat di pulau ini antara lain kangkung laut (Ipomea pescapre), Kasuari (Casuarina sp.), Ketapang (Terminalia catapa), Bintanggor (Canophyllum inophyllum), berbagai jenis mangrove dan lain-lain.
Substrat dasar lahan P. Enu terdiri dari tanah berpasir hingga berlumpur. Berkaitan dengan sebaran vegetasi menurut tanah lahan, maka bagian lahan pesisir didominasi oleh jenis-jenis vegetasi kasuari, ketapang dan pandan, sedangkan bagian tengah didominasi oleh jenis-jenis Semarah dan Madawal (nama lokal). Kerapatan total vegetasi terestrial pulau ini mencapai 0,964 tegakan/m2 atau sekitar 9.640 tegakan/ha. Kerapatan vegetasi untuk kategori pohon sebesar 0,265 tegakan/m2 (2653 tegakan/ha), sementara untuk kategori sapihan adalah 0,145 tegakan/m2 (1.453 tegakan/ha) dan untuk kategori anakan mencapai 0,553 tegakan/m2 atau mencapai 5.533 tegakan/ha (Tabel 5). Jenis vegetasi yang memiliki diameter pohon rata-rata terkecil adalah Madawal dan terbesar adalah Kasuari. Sedangkan jenis yang memiliki diameter sapihan rata-rata terkecil adalah Jir dan terbesar adalah Kayu Susu.
Tabel 5. Kerapatan Vegetasi dan Kisaran Diameter Pohon
Kategori | Kerapatan per m2 | Tegakan per Ha | Kisaran Diameter (cm) | Diameter Rata-rata (cm) |
Pohon | 0,265 | 2653 | 4,01 – 85,59 | 18,8 |
Sapihan | 0,145 | 1453 | 0,95 – 3,98 | 2,5 |
Anakan | 0,553 | 5533 | - | - |
Total | 0,964 | 9640 | - | - |
Data vegetasi terestrial memberikan indikasi bahwa bila ada gangguan yang cukup berarti terhadap ekosistem terestrial, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihan karena jumlah tegakan dari kategori sapihan hanya 54,77% dari jumlah tegakan untuk kategori pohon walaupun jumlah tegakan untuk kategori anakan jauh lebih besar dari tegakan untuk kategori pohon dan sapihan.
Untuk kategori pohon, pemulihan jenis Madawal akan berlangsung cepat karena jumlah tegakan sapihannya 4,82 kali lebih banyak dari jumlah tegakan untuk pohon. Slain itu pemulihan vegetasi yang agak cepat adalah jenis Semarah, dimana jumlah tegakan sapihannya sebesar 72,55% dari jumlah tegakan untuk kategori pohon. Didasarkan pada jumlah tegakan vegetasi untuk kategori anakan yang demikian besar, dapat dikatakan komunitas teresterial P. Enu ini memiliki kecenderungan untuk berkembang bila dikelola secara baik.
Selain jenis-jenis vegetasi yang dominan itu, dijumpai juga beberapa jenis tumbuhan khas pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya pohon kayu besi, pohon kayu nani, pohon mangga dan lain-lain. Karena tumbuhan mangga yang dapat tumbuh di pulau ini, maka beberapa jenis tanaman buah-buahan lainnya seperti pohon sukun dan kedondong dapat tumbuh dan berkembang di P. Enu. Selain kekayaan floranya, lingkungan teresterial P. Enu memiliki beberapa jenis fauna. Jenis fauna dimaksud adalah beberapa jenis burung (termasuk burung laut), serta salah satu reptilia yang termasuk kategori dilindungi yaitu biayak endemik Maluku (Varanus indicus).
Hutan Mangrove
P. Enu yang berukuran kecil memiliki 7 spesies mangrove yang tergolong dalam 6 genera dan 5 famili (Tabel 6) yang tumbuh dan berkembang pada substrat dasar pasir berlumpur. Tumbuhan mangrove dari famili Rhizophoraceae memiliki variasi jenis lebih banyak dibanding 4 famili lainnya yang masing-masing hanya diwakili oleh satu jenis tumbuhan mangrove. Genus Rhizopora memiliki dua spesies yang tumbuh di P. Enu. Dimana luas daerah mangrove pada P. Enu ini adalah 914 Ha.
Jenis vegetasi mangrove yang tergolong dominan di P. Enu adalah Bruguiera gymnorrhiza untuk kategori pohon dan sapihan, serta Sonneratia alba untuk kategori anakan. Kerapatan total tumbuhan mangrove adalah 0,9760 tegakan/m2 atau mencapai 9.760 tegakan/ha, dimana kerapatan untuk kategori pohon 0,1285 tegakan/m2 atau 1.285 tegakan/ha. Sementara nilai kerapatan untuk kategori sapihan hanya sebesar 0,0650 tegakan/m2 atau 650 tegakan/ha dan kerapatan untuk kategori anakan tergolong menonjol yaitu bisa mencapai 0,7825 tegakan/m2 atau sekitar 7.825 tegakan/ha (Tabel 7).
|
Diameter rata-rata tumbuhan mangrove untuk kategori pohon tergolong kecil, tetapi masih ditemukan pohon mangrove berukuran besar yaitu mencapai 63,0 cm yaitu jenis Sonneratia alba. Selain itu, jenis mangrove yang memiliki diameter pohon terkecil adalah Aegiceras corniculatum. Untuk kategori sapihan, jenis mangrove yang memiliki diameter terkecil yaitu Rhizophora stylosa dan jenis mangrove dengan diameter terbesar adalah Sonneratia alba Data yang telah diuraikan memberi indikasi bahwa bila terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap ekosistem mangrove maka dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk pemulihannya karena jumlah tegakan untuk kategori sapihan hanya sekitar 50% dari jumlah tegakan untuk kategori pohon, walaupun jumlah tegakan untuk kategori anakan jauh lebih besar dari tegakan untuk kategori pohon dan sapihan. Faktor lain yang juga akan memberikan kontribusi terhadap lambatnya pemulihan yaitu ukuran pulau yang kecil dan mudah rapuh bila mengalami tekanan, disertai struktur substrat dasar yang belum mencapai kematangan akibat secara geologis P. Enu masih dalam perkembangan. Akan tetapi sesuai data yang tersedia menunjukkan bahwa pemulihan jenis mangrove Bruguiera gymnorrhiza agak cepat karena jumlah tegakan untuk kategori sapihan mencapai 76% dari jumlah tegakan untuk kategori pohon. Karena jumlah tegakan untuk kategori anakan yang besar, maka dapat dikatakan bahwa komunitas mangrove di P. Enu memiliki kecenderungan untuk berkembang bila dikelola secara baik, dan tidak mengalami tekanan antropogenik.
Tabel 7. Kerapatan dan Kisaran Diameter Tumbuhan Mangrove di P. Enu
Kategori | Kerapatan (m2) | Tegakan (Ha) | Kisaran Diameter (cm) | Diameter Rata-rata (cm) |
Pohon | 0,1285 | 1285 | 4,1 – 63,0 | 15,75 |
Sapihan | 0,0650 | 650 | 1,8 – 3,98 | 2,58 |
Anakan | 0,7825 | 7825 | - | - |
Total | 0,9760 | 9760 | - | - |
Padang Lamun
Perairan pesisir P. Enu hanya memiliki 4 jenis dari 12 jenis lamun yang tercatat di kawasan Kepulauan Aru Tenggara. Keempat jenis lamun itu tergolong dalam 4 genera dan 2 famili. Keempat jenis lamun itu adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Halophila ovalis dari famili Hydrocharitaceae, serta Halodule uninervis yang termasuk dalam famili Cymodoceaceae.
Kekayaan jenis lamun ini tergolong rendah karena hanya mencapai 33,3% dari total 12 jenis lamun yang terdapat di kawasan perairan Aru Tenggara. Jenis yang mendominasi areal perairan P. Enu ini adalah Thalassia hemprichii, dengan substrat dasar areal padang lamun yang didominasi oleh pasir.
Persen penutupan rata-rata lamun secara keseluruhan di areal padang lamun P. Enu tergolong besar. Jenis lamun Thalassia hemprichii memiliki persen penutupan substrat dasar tertinggi sementara yang terendah terwakili oleh jenis Halodule uninervis.
Kerapatan total lamun di perairan pesisir P. Enu tergolong cukup tinggi. Jenis lamun Thalassia hemprichii memiliki kerapatan tertinggi dan jenis lamun dengan kerapatan yang rendah adalah Halodule uninervis. Ternyata secara linear, kedua jenis lamun tersebut memiliki nilai persen penutupan substrat dasar tertinggi dan terendah, sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 8. Kerapatan dan Persen Penutupan Lamun di Pesisir P. Enu
Spesies | Gambar | Kerapatan (ind/m2) | Persen Penutupan Relatif (%) |
Thalassia hemprichii | | 254 | 24.03 |
Enhallus acoroides | | 162 | 21.23 |
Halophila ovalis | | 113 | 12.67 |
Halodule uninervis | | 64 | 7.24 |
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kerapatan dan persen penutupan lamun di perairan pesisir P. Enu tergolong tinggi, walaupun masih terdapat ruang di dasar perairan yang kosong dan ditempati oleh komponen pasir. Ruang dasar perairan yang kosong ini sebagian besar menunjukkan kondisi alamiah, tetapi juga ditemukan bekas areal makan dari dugong.
Terumbu Karang
Secara umum, komponen biotik mendominasi substrat dasar dari terumbu karang P. Enu dibanding komponen abiotiknya. Fakta ini menunjukkan bahwa terumbu karang dari pulau kecil perbatsan ini masih baik dengan variasi dan dominansi komponen biotik yang terdapat pada areal terumbunya.
Bila diamati secara terpisah, maka untuk komponen biotik, ternyata karang batu memiliki persen tutupan substrat dasar lebih tinggi dari biota laut lain (moluska, ekhinodermata, algae, spons dan lain-lain). Karang batu kategori Acropora memiliki persen tutupan dasar terumbu lebih tinggi dibanding karang batu dari kategori Non-Acropora. Sementara untuk komponen abiotik, ternyata batu karang dan pasir memiliki persen tutupan substrat dasar terumbu lebih tinggi dibanding komponen pasir dan patahan karang mati (Tabel 9).
Tabel 9. Kondisi Umum Komponen Biotik dan Abiotik Terumbu Karang P. Enu
Komponen Penyusun Substrat | Frekuensi | Panjang Perpotongan | Penutupan (%) |
Biotik | (104) | (3.716) | (74,32) |
Karang Batu : - Acropora - Non Acropora Biota Non Karang Batu | (67) 35 32 37 | (2.196) 1.342 854 1.520 | (43,92) 26,84 17,08 30,40 |
Abiotik | (23) | (1.284) | (25,68) |
Patahan Karang Rock (Bebatuan) Pasir | 4 9 10 | 107 630 547 | 2,14 12,60 10,94 |
Kategori bentuk pertumbuhan bentik yang dijumpai di terumbu karang P. Enu hanya sebanyak 20 kategori (kurang lebih 69%) dari total 29 kategori bentuk pertumbuhan bentik yang biasanya ditemukan di ekosistem terumbu karang. Ini menunjukkan terumbu karang P. Enu masih dalam proses perkembangan menuju suatu sistem terumbu alami.
Kategori Bentuk Tumbuh | Panjang Perpotongan (cm) | Penutupan Substrat (%) |
Acropora | | |
ACB | 155 | 3,10 |
ACD | 368 | 7,36 |
ACE | 30 | 0,60 |
ACS | 789 | 15,78 |
Non Acropora | | |
CB | 27 | 0,54 |
CE | 27 | 0,54 |
CF | 135 | 2,70 |
CHL | 492 | 9,84 |
CM | 80 | 1,60 |
CME | 64 | 0,58 |
CS | 29 | 0,58 |
TOTAL | 2.196 | 43,92 |
Terumbu karang P. Enu memiliki 60 spesies karang batu yang termasuk dalam 20 genera dan 11 famili. Variasi jenis karang ini tergolong tinggi dihubungkan dengan sebaran areal terumbu karang yang relatif terbatas, serta kondisi perairan di musim barat yamg umumnya keruh akibat aksi gelombang yang menaikan partikel halus substrat dasar perairan sekitar terumbu karang sehingga menjadi. pembatas bagi sebagian karang polip kecil yang sangat peka terhadap tekanan sedimentasi.
Famili karang batu dengan kelimpahan jenis yang tinggi adalah Acroporidae (24 spesies), Faviidae (15 spesies), dan Poritidae (7 spesies). Karang batu Acropora branching (bercabang) memiliki jumlah jenis lebih banyak dibanding jumlah jenis karang dari bentuk tumbuh koloni Acropora yang lain. Sementara karang batu non-Acropora dengan kelimpahan jenis terbanyak adalah karang masif (MC) yaitu sebanyak 18 jenis dan karang bercabang (CB) sebanyak 6 jenis.
Karang batu dari bentuk tumbuh Acropora yang memiliki variasi jenis tergolong rendah di perairan P. Enu adalah Acropora encrusting (ACE). Acropora digitate, dan Acropora submasif (ACS), dimana masing-masing hanya memilki satu spesies karang. Walaupun tidak tercatat persen penutupan karang batu Acropora tabulate, tetapi bentuk tumbah karang batu ini memiliki tiga jenis karang diperairan pesisir P. Enu, yaitu Acropora clatharata, A. cytherea, dan A. hyacintus. Karang batu famili Fungiidae biasanya memilki variasi jenis cukup menonjol pada areal terumbu karang yang mulai atau telah mengalami degradasi. Pada areal terumbu P. Enu hanya ditemukan dua jenis karang dari famili Fungiidae tersebut, yaitu Fungia (Veriilofungia) concina dan Fungia (Fungia) fungites. Melalui pendekatan biologis, kenyataan ini memberikan suatu indikasi bahwa terumbu karang P. Enu belum mengalami tekanan berarti yang dapat menyebabkan penurunan kualitasnya.
Makro Benthos
Perairan pesisir (daerah intertidal) P. Enu dan laut sekitarnya menyimpan sejumlah potensi sumberdaya makro benthos yang dapat dikembangkan sebagai komoditi perikanan dan kelautan potensial. Sumberdaya makrobenthos dimaksud antara lain moluska (siput dan kerang) dan ekinodermata (teripang).
Komposisi Jenis
Jenis-jenis makrobenthos yang ditemukan pada lokasi perairan Pulau Enu adalah dari kelompok moluska dan Holothuridea yang secara keseluruhan berjumlah 52 jenis dan diantaranya terdapat 15 spesies yang memiliki nilai ekonomis penting, yaitu:Tabel 11. Jenis, Jumlah, Kapadatan dan Bentuk Pemanfaatan Makrobenthos yang Ditemukan di P. Enu
Jenis Ekonomis Penting | Kepadatan (Ind./m2) | Pemanfaatan | Gambar |
Conus eburneus | 0,015 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Conus magus | 0,015 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Conus marmoreus | 0,005 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Conus miles | 0,005 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Conus vexillum | 0,005 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Conus vitullinus | 0,005 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Cypraea caputserpentis | 0,005 | Dekoratif | |
Cypraea tigris | 0,01 | Dekoratif | |
Gafrarium tumidum | 0,015 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Haliotis varia | 0,015 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Holothuria sp. | 0,02 | Konsumsi | |
Saccostrea echinata | 0,03 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Strombus luhuanus | 0,045 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Tridacna sp. | 0,01 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Trochus niloticus | 0,03 | Dekoratif/ Konsumsi | |
Kepadatan Jenis
Berdasarkan hasil perhitungan ditemukan bahwa tingkat kepadatan makrofauna benthos (dari spesies-spesies yang bernilai ekonomis penting) yang tertinggi yaitu dari kelompok moluska jenis Strombus luhuanus, dengan nilai kepadatan 0,045 ind/m2 dan terendah untuk jenis Conus marmoreus, C. miles, C. vexillum, C. vitullinus dan Cypraea caputserpentis dengan nilai kepadatan masing-masing yaitu 0,005 ind/m2.
Nekton
Sumberdaya Ikan Karang
Ikan karang yang menempati areal terumbu P. Enu mencapai 68 spesies yang tergolong dalam 40 genera dan 19 famili. Kekayaan spesies ikan karang ini tergolong relatif rendah dengan dimensi areal terumbu P. Enu yang cukup luas dibanding areal terumbu lainnya dalam kawasan Suaka Alam Perairan Aru bagian Tenggara. Famili ikan karang dengan variasi jenis yang tinggi di perairan karang P. Enu adalah Pomacentridae (16 jenis), Chaetodontidae (9 jenis), Lutjanidae (5 jenis) dan Labridae (5 jenis). Selain itu, famili ikan karang dengan variasi jenis terendah atau hanya memiliki satu spesies adalah Blenidae, Haemulidae, Pomacanthidae, Siganidae, Synodontidae dan Zanclidae. Ikan karang dari genus Chaetodon, Lutjanus dan Pomacentrus memiliki variasi jenis tergolong tinggi di perairan karang ini. Tingginya kekayaan jenis ikan karang famili Chatodontidae yang juga termasuk kategori spesies indikator memberikan indikasi bahwa kualitas terumbu karang P. Enu relatif masih baik.
Tabel 12. Kepadatan dan Jumlah Individu per Ha serta Berat (Ton) Ikan Karang
Pengelompokan Ikan Karang | Jumlah Spesies | Kepadatan (ind./m2) | Individu (Ha) | Berat (ton/Ha) |
Kategori Monitoring | | |||
Indicator species | 9 | 0,09 | 920 | |
Major categories species | 32 | 0,58 | 5.760 | |
Target species | 27 | 1,45 | 14.520 | 3,63 |
T o t a l | 68 | 2,12 | 21.200 | 3,63 |
Kriteria Pemanfaatan | | |||
Ikan Konsumsi | 33 | 1,60 | 16.000 | 4,00 |
Ikan Hias | 35 | 0,52 | 5.200 | |
T o t a l | 68 | 2,12 | 21.200 | 4,00 |
Nilai sediaan cadang (Standing Stock), perkiraan pemanfaatan secara lestari (MSY) dan perkiraan pemanfaatan secara berkelanjutan (JTB) dari sumberdaya ikan karang (Tabel 13) di perairan karang P. Enu termasuk besar dihubungkan dengan dimensi dan kondisi terumbu karang sebagai habitat hidupnya. Hasil-hasil analisis secara terpisah memperlihatkan nilai sediaan cadang dan MSY dari ikan karang kelompok Target species jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indicator spesies dan Major categories species. Sementara sediaan cadang dan MSY dari sumberdaya ikan karang yang termasuk kriteria pemanfaatan sebagai ikan konsumsi lebih tinggi dari kelompok ikan hias. Tingginya nilai sediaan cadang dari Target Species dan Ikan Konsumsi tersebut disebabkan oleh kehadiran jenis ikan Caesio teres dengan kelimpahan individu yang besar atau sebagai jenis ikan karang yang predominan.
Setidaknya terdapat empat jenis ikan karang di perairan P. Enu yang termasuk kategori predominan di dalam komunitasnya. Jenis ikan Caesio teres sangat predominan dibanding tiga jenis ikan karang yang lain (Tabel 14). Sesuai kriteria pemanfaatannya sebagai ikan konsumsi, maka Caesio teres memiliki nilai sediaan cadang, MSY dan JTB lebih tinggi dari Cromis weberi. Tabel 13. Sediaan Cadang (ind.), Kelimpahan Stok (Biomass), MSY dan JTB Ikan Karang P. Enu
Pengelompokkan Ikan Karang | Sediaan Cadang | Kelimpahan Stok (ton) | MSY | JTB | ||
| Ton | | Ton | |||
Kategori Monitoring | | |||||
Indicator species | 1.446.470 | | 723.235 | | 578.588 | |
Major species | 9.056.160 | | 4.528.080 | | 3.622.464 | |
Target species | 22.829.070 | 5.707 | 11.414.535 | 2.854 | 9.131.628 | 2.283 |
Sub-Total | 33.331.700 | 5.707 | 16.665.850 | 2.854 | 13.332.680 | 2.283 |
Kriteria Pemanfaatan | | |||||
Ikan Konsumsi | 25.156.000 | 6.289 | 12.578.000 | 3.145 | 10.062.400 | 2.516 |
Ikan Hias | 8.175.700 | | 4.087.850 | | 3.270.280 | |
Sub-Total | 33.331.700 | 6.289 | 16.665.850 | 3.145 | 13.332.680 | 14,87 |
Tabel 14. Sediaan Cadang (ind.), Kelimpahan Stok (biomass), MSY dan JTB dari Jenis-jenis Ikan Karang yang Predominan di Perairan Karang P. Enu
Taksa Ikan Karang | Sediaan Cadang | Kel. Stok (ton) | MSY | JTB | ||
| Ton | | Ton | |||
Chaetodon kleinii | 377.340 | | 188.670 | | 150.936 | |
Chromis weberi | 817.570 | | 408.785 | | 327.028 | |
Ctenochaetus striatus | 1.069.130 | 267 | 534.565 | 134 | 427.652 | 107 |
Caesio teres | 9.433.500 | 2.358 | 4.716.750 | 1.179 | 3.773.400 | 943 |
Sementara untuk kriteria monitoring, jenis ikan Caesio teres (ekor kuning) sebagai Target Species adalah jenis ikan yang predominan dengan kepadatan individu, sediaan cadang, kelimpahan stok, nilai MSY dan JTB yang sangat menonjol dibanding dua jenis ikan predominan lainnya yaitu Ctenochaetus strigosus yang termasuk Major Categories Species dan Chaetodon kleini sebagai ikan yang termasuk dalam kategori Indicator Species. Bila keempat jenis ikan yang tergolong predominan itu dikelompokan menurut tujuan pemanfaatan, maka ikan hias memiliki kepadatan individu dan sediaan cadang lebih rendah dari ikan konsumsi.
Perikanan Tangkap
Sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai potensi sumberdaya hayati laut, maka kawasan perairan Aru Tenggara, termasuk perairan pesisir dan laut P. Enu ramai dikunjungi kapal-kapal nelayan yang beroperasi di sekitarnya, di samping sebagai tempat berlabuh, bongkar muat dan transaksi jual beli hasil-hasil laut. Kapal-kapal perikanan tangkap tersebut ada yang berasal dari masyarakat lokal
yang bermukim dekat dengan pulau ini, ada memiliki ijin operasi dari Pemerintah maupun dari masyarakat lokal (adat yang memiliki hak ulayat) untuk beroperasi di
|
Sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimanfaatkan secara intensif di perairan pesisir dan laut sekitar Pulau Enu adalah ikan hiu, dengan tujuan mengambil bagian - bagian siripnya yang bernilai ekonomi tinggi. Alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan hiu adalah pancing dan jaring yang dikonstruksi secara khusus untuk menangkap sumberdaya perikanan ini. Kegiatan penangkapan dilakukan oleh nelayan pendatang dengan peralatan yang semi-moderen, serta masyarakat lokal dari pulau-pulau sekitar dengan armada dan peralatan yang relatif sederhana.
Perairan sekitar P. Enu merupakan fishing ground dari sebagian armada trawl yang beroperasi di perairan Aru untuk menangkap ikan demersal dan udang windu. Sasaran penangkapan ikan demersal dengan trawl ini adalah berbagai jenis ikan kakap. Sementara udang windu yang umum tertangkap dengan traw pada perairan sekitar P. Enu ini adalah Penaeus monodon dan Penaeus merguensis. Masalah yang ditimbulkan operasi trawl ini yaitu terjadi kekeruhan air di pesisir P. Enu, dan sumberdaya ikan yang bukan target dibuang ke laut sehingga menyebabkan pencemaran bau dan perairan. Potensi sumberdaya udang barong yang bernilai ekonomis tinggi ini sering dimanfaatkan oleh nelayan lokal, maupun nelayan pendatang yang berlabuh di perairan sekitar P. Enu untuk dikonsumsi dan/atau dijual ke nelayan pengumpul.
Armada Penangkapan Ikan Hiu dan Trawl yang Sedang Tambat (Berlabuh) dan Beroperasi di Perairan P. Enu
Selain itu, penangkapan sumberdaya ikan, termasuk ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi dilakukan oleh masyarakat lokal di perairan P. Enu dengan hanya menggunakan peralatan sederhana seperti pancing dan jaring insang. Kegiatan perikanan tangkap lain yang dilakukan, terutama oleh masyarakat lokal di perairan sekitar P. Enu menyelam untuk mengambill atau mengumpul biota laut yang ekonomis penting yaitu jenis-jenis teripang, kerang mutiara, siput lola, batu laga, dan udang barong. Kegiatan menyelam masyarakat lokal ini dilakukan pada musim barat yaitu antara bulan Nopember – Maret, dimana perairan sekitar P. Enu dan Aru Tenggara umumnya relatif tenang.
Salah satu kegiatan pemanfaatan (penangkapan) sumberdaya laut yang tergolong ilegal dan masih berlangsung di P. Enu ini adalah penangkapan penyu. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan cara menunggu penyu naik ke pulau untuk bertelur, serta menggunakan jaring insang yang dirancang khusus untuk menangkap penyu. Penangkapan penyu dengan cara tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan dari luar maupun masyarakat lokal yang bekerjasama dengan nelayan pengumpul untuk kemudian dibawa dan diperdagangkan di Bali.Selain penangkapan untuk tujuan perdagangan, nelayan dari luar maupun masyarakat nelayan lokal yang menangkap hiu atau menyelam di P. Enu dan berlabu atau tinggal selama waktu tangkap, juga memburu penyu yang naik bertelur di pesisir pulau untuk dikonsumsi. Bahkan telur-telur penyu yang telah diletakan disarangnya, ikut dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan tersebut untuk dikonsumsi. Tiap hari sekitar 5 – 17 kapal motor penangkap ikan menyinggahi P. Enu yang menjadikan penyu dan telur penyu sebagai makanan tambahan mereka, dimana konsumsi telur rata-rata mencapai 200 – 300 butir/kapal. Kegiatan penangkapan ilegal lainnya yang mesih dilakukan oleh masyarakat lokal di perairan pesisir P. Enu, serta kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara adalah memburu dugong untuk dikonsumsi dan diambil taringnya.
Kegiatan “Bameti” (istilah lokal) merupakan salah satu cara pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang dilakukan oleh masyarakat lokal secara tradisional pada saat air surut. Disaat air surut, masyarakat mengumpulkan berbagai biota laut di daerah pasut hingga sub-pasut untuk dikonsumsi. Jenis-jenis biota laut yang dikumpulkan yaitu siput dan kerang, teripang, ikan dan gurita. Kegiatan penangkapan tradisional ini bersifat destruktif, karena seringkali bagian habitat pasut dan sub-pasut dihancurkan untuk memperoleh biota yang dicari
Nelayan lokal yang memanfaatkan sumberdaya perikanan pada musim menyelam, penangkapan hiu, penangkapan ikan dan penyu di P. Enu ini umumnya berasal dari 6 Desa sekitar kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara, yairu Longgar, Apara, Batu Goyang, Karey, Bemun dan Desa Gomu Gomu. Daerah peruntukan perikanan tangkap dari tiap desa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di sekeliling pesisir dan laut P. Enu tersebar tidak merata, atau tidap berpola. Tampaknya hal ini berkaitan erat dengan areal sebaran komoditi perikanan yang menjadi tujuan penangkapan.
Fakta menunjukan telah terjadi tekanan pemanfaatan sumberdaya hayati laut pada perairan sekitar P. Enu, baik dengan peralatan dan teknologi moderan oleh perusahaan besar maupun peralatan, serta teknologi standar dan tradisional oleh nelayan lokal. Dilain pihak, P. Enu termasuk kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara. Untuk mengatasi masalah yang kontradiktif itu, maka diusulkan dua strategi dan program penting yaitu : (1). Membatasi atau menghentikan pemberian izin penangkapan di sekitar P. Enu bagi perusahaan besar yang disertai dengan peningkatan pengawasan, dan (2). Meningkatkan kapasitas dan kualitas nelayan lokal untuk memanfaatkan sumberdaya ikan (pelagis kecil dan besar) di luar P. Enu dan Cagar Alam Laut Aru Tenggara.
Perikanan Budidaya
Perikanan budidaya menduduki posisi penting dalam menunjang ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja dan pendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pengembangan perikanan saat ini menjadi sangan urgent karena ada kecenderungan terjadi peningkatan permintaan ikan konsumsi oleh masyarakat. Di samping itu, perikanan budidaya juga dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang mungkin ditimbulkan akibat peningkatan intensitas perikanan tangkap.
Berdasarkan parameter kualitas air untuk peruntukkan kegiatan perikanan dan hasil pengumpulan data lapangan terhadap organisme-organisme perikanan yang bernilai komersil dan dapat dikembangkan melalui kegiatan budidaya, maka dapat dikatakan bahwa perairan pesisir P. Enu memiliki potensi untuk dikembangkannya kegiatan budidaya perikanan. Potensi budidaya perikanan yang dapat dikembangkan di perairan pesisir P. Enu antara lain budidaya Ikan Kerapu, Ikan Beronang, Rumput Laut, Kepiting Bakau dan Teripang.
Namun ada satu hal yang menjadi kendala pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada P. Enu, sebagaimana dialami juga oleh pulau-pulau terluar lainnya di Kepulauan Aru ini. Kondisi laut pada Musim Timur yang mengalami gelombang yang cukup besar sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan budidaya. Tetapi kondisi akan berbeda di Musim Barat karena kondisi perairan menjadi tenang dan tidak berombak sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengembangan budidaya perikanan. Pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada Musim Barat ini menjadi sangat penting sehingga dapat mengurangi tekanan eksploitasi sumberdaya hayati laut oleh masyarakat. Dengan demikian dapat mereduksi kerusakan ekosistem yang ditimbulkan di P. Enu dan sekitarnya yang termasuk kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara.
Pengembangan kegiatan budidaya perikanan ini hendaknya didahului dengan sejumlah program penguatan kapasitas sumberdaya manusia, dalam hal ini peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat menjadi utama. Hal ini dilakukan dengan tujuan memprakondisikan masyarakat nelayan tradisional sehingga program ini dapat dijalankan dengan sukses. Setelah itu, baru diikuti dengan pemberian paket-paket bantuan berupa fasilitas budidaya laut, disamping tetap mengadakan kegiatan pendampingan.
Konservasi
Salah satu upaya pengembangan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan adalah dengan menerapkan konsep konservasi yang memberikan perlindungan bagi sumberdaya pesisir dimaksud. Sumberdaya pesisir ini salah satunya harus memenuhi persyaratan kelangkaan, berperan penting dalam ekosistem, tetapi juga memiliki daya tarik tersendiri bagi pengembangan kawasan ekowisata.
Setidaknya terdapat empat jenis organisme yang dilindungi (terdiri dari tiga jenis mamalia laut dan satu jenis reptilia) yang ditemukan pada perairan pesisir dan laut sekitar P. Enu, yang dapat dilindungi. Mamalia laut yang dimaksud adalah Lumba-Lumba, Dugong (Duyung) dan Paus. Lumba-Lumba sering terlihat berenang pada perairan laut P. Enu yang agak dalam sebagai jalur migrasinya untuk berbagai tujuan hidup, terutama untuk mencari makan. Jenis Lumba-Lumba yang dimaksud adalah Pseudorca crassidens, dan Globicephalla macrorhynchus. Sementara jenis dugong yaitu Dugong dugon sering hadir pada perairan pesisir P. Enu berkaitan dengan tujuan memanfaatkan jenis-jenis lamun sebagai sumber makanannya. Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya bekas-bekas jalur makan dari dugong. Sementara itu, secara temporal jenis paus yaitu Physeter catodon (Sperm Whale) sering juga terlihat melintasi perairan pesisir dan laut sekitar P. Enu yang relatif dalam.
Hampir seluruh areal pantai kering P. Enu merupakan tempat bertelur yang ideal bagi penyu-penyu tersebut. Ironisnya, hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa hampir di sepanjang pantai P. Enu ditemukan bangkai-bangkai penyu yang berserakan. Hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, ternyata bahwa banyak anggota masyarakat yang bermukim di dekat P. Enu, yang karena ketidaktahuan dan tuntutan ekonominya membuat mereka memburu dan membantai reptilia ini. Perilaku menyimpang masyarakat ini kemudian semakin mewabah karena muncul pihak-pihak ketiga yang siap membeli dengan harga yang mahal daging penyu yang berhasil ditangkap oleh masyarakat.
Kenyataan-kenyataan di atas ini semakin mengukuhkan pentingnya dilakukan pengembangan dan pengelolaan kegiatan konservasi di P. Enu. Namun hal tersebut harus dimulai dengan kegiatan penyadaran masyarakat melalui pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat, meningkatkan intensitas penyuluhan-penyuluhan perikanan dan kelautan serta sejumlah kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan di bidang perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kemudian perlu juga dilakukan sosialisasi peraturan-peraturan perikanan, penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kapabilitas fungsi pengawasan terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi. Pariwisata
Potensi wisata yang dapat dikembangkan di P. Enu yaitu wisata ilmiah. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pantai kering P. Enu merupakan tempat yang sangat disenangi oleh penyu untuk bertelur. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang langka dan akan menjadi daya tarik tersendiri baik bagi masyarakat umum, ilmuan maupun pencinta alam lainnya.
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Demografi
Dari 187 buah pulau yang terdapat di dalam wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Aru, ternyata hanya sebanyak 26 buah pulau yang berpenghuni, dengan 119 desa dan 2 kelurahan serta total jumlah penduduk mencapai 65.128 jiwa. Kabupaten Kepulauan Aru terdiri dari 3 kecamatan yakni Kecamatan Aru dengan ibukota Dobo membawahi 2 kelurahan dan 43 desa dengan jumlah penduduk 27.695 jiwa, Kecamatan Aru Tengah dengan ibukota Benjina membawahi 45 desa dengan jumlah penduduk 23.285 jiwa, serta Kecamatan Aru Selatan dengan ibukota Jerol yang membawahi 31 desa dengan jumlah penduduk tercatat sebanyak 14.148 jiwa.
P. Enu yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Aru Tengah ini, tidak berpenghuni. Akan tetapi pada musim-musim tertentu (tangkap), masyarakat membuat rumah-rumah sementara (pondok) di pulau tersebut untuk kegiatan melaut. Selain itu, kapal-kapal nelayan (bermesin dalam), juga selalu menggunakan perairan pantai P. Enu sebagai tempat untuk berlabuh, melakukan kegiatan jual beli hasil tangkapan, mauupun bongkar muat. Namun sejak September 2004 yang lalu, P. Enu mulai dihuni oleh 3 orang petugas Navigasi untuk mengawasi Lampu Mercu Suar yang dibangun di pulau ini. Para petugas Navigasi tersebut dirotasi setiap 3 bulan, sehingga sepanjang tahun minimal terdapat 3 orang penghuni tetap di pulau ini.
Tabel 15. Jumlah Penduduk dan KK pada 5 Desa di Aru Tenggara, sekitar P. Enu
Desa | Luas (km2) | Jumlah Jiwa | Jumlah KK |
Batu Goyang | 5,63 | 673 | 157 |
Karey | 4,07 | 897 | 259 |
Apara | 40,4 | 838 | 203 |
Longgar | 45,0 | 906 | 198 |
Bemun | 10,0 | 540 | 148 |
TOTAL | 105,10 | 3.854 | 817 |
Perekonomian Masyarakat
Masyarakat di Kabupaten Kepulauan Aru, umumnya bermukim di pesisir pantai. Hal ini disebabkan kawasan perairan laut di kepualauan ini kaya akan berbagai sumberdaya hayati laut yang bernilai ekonomis tinggi, seperti siput mutiara, teripang, ikan hiu, kerang lola dan “bia” mata tujuh( abalone ) . Dengan demikian ketergantungan hidup masyarakat lokal terhadap hasil laut sangat tinggi. Fakta menunjukan bahwa masyarakat yang berdiam di sekitar P. Karang mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai petani hanya merupakan pekerjaan sampingan, dan bahkan kebun yang diusahakan berukuran kecil yakni sekitar 20 x 40 m.
Aktivitas perikanan di kawasan Aru tenggara mencapai puncaknya pada musim barat, terutama untuk menyelam siput mutiara, teripang dan rumput laut. Sedangkan kegiatan penangkapan jenis-jenis ikan, cumi, udang menggunakan jarring insang (gill net), jala dan pancing. Hasil yang diperoleh dijual di dalam desa sendiri dan desa tetangga (karena ada pedagang pengumpul), serta kadang-kadang dibawa ke Kota Dobo bila ada transportasi. Sebelum ada larangan terhadap nelayan-nelayan Bali yang membeli penyu hijau, maka penyu hijau merupakan salah satu komoditi yang cukup diandalkan. Tetapi akibat eksploitasi yang berlebihan, maka sekarang ini populasi penyu hijau sekarang telah berkurang. Sebagai contoh pada tahun 1997 – 1998, dalam semalam penyu yang naik bertelur di pantai kering P. Karang dapat mencapai 90 individu. Tetapi informasi yang diperoleh saat kajian untuk penyusunan profil ini, ternyata dalam seminggu hanya 3 ekor penyu yang naik bertelur dan setelah bertelur tidak kembali lagi ke laut karena langsung dibantai untuk dikonsumsi.
Suatu kajian ekonomi terhadap kawasan Suaka Alam Perairan Aru Tenggara telah dilakukan oleh Far-Far (2004) bersamaan dengan kajian untuk Pulau Enu. Pendekatan yang digunakan adalah Valuasi Ekonomi terhadap enam komoditi perikanan utamanya, yaitu Ikan karang, Ikan hiu, Teripang, Kerang Mutiara, Siput lola, dan Penyu. Ternyata nilai ekonomi dari kawasan konservasi ini mencapai Rp. 25,1 milyar. Komoditi dengan nilai valuasi ekonomi tertinggi adalah ikan hiu yang mencapai Rp.19,4 milyar, sedangkan penyu hanya sekitar Rp. 112,5 juta. Daerah tangkap utama dari kedua komoditi ini adalah Pulau Enu, Pulau Kultubai Selatan selain Pulau Karang serta perairan pesisir dan lautnya. Teripang dan kerang mutiara juga memiliki nilai valuasi ekonomi relatif tinggi, yaitu Rp. 2,7 milyar dan Rp. 2,5 milyar.
Nilai valuasi ekonomi ini belum dapat dikatakan besar karena pendekatan yang digunakan adalah komoditi perikanan, sementara pendekatan ekosistem dan jasa-jasa lingkungan dari P. Karang dan kawasan Suaka Alam Perairan Aru Tenggara pada umumnya belum dihitung nilai valuasi ekonominya. Tetapi referensi yang telah dikemukakan memberi gambaran bahwa perairan pesisir dan laut kawasan ini, termasuk P. Karang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang besar sehingga menjadi tumpuan kehidupan ekonomi utama masyarakat lokal dan bahkan nelayan atau pengusaha di dalam provinsi/kabupaten maupun dari luar.Budaya dan Antropologi
Setiap kali menjelang musim Barat, sebelum para “Deba” (penyelam siput mutiara) melaksanakan kegiatannya, mereka melakukan sesajian yang dibawa ke laut dan ditaruh pada tempat-tempat tertentu dalam petuanan mereka untuk “memberi makan para leluhur”, sekaligus meminta rejeki bagi para penyelam.
Hak kepemilikan mereka terhadap tanah dan “meti” (areal pasang surut) masih melakat kuat, sehingga bila ada masyarakat tetangga yang melewati hak kepemilikan mereka dapat menimbulkan perkelahian antar kampung. Sampai sekarang hal ini masih terjadi, dimana beberapa waktu yang lalu terjadi perkelahian antara Desa Karey dan Apara, karena ada masyarakat dari Desa Apara yang mencari siput mata tujuh (Abalone) hingga memasuki petuanan Desa Karey bahkan membolak-balik batu-batu tempat siput itu melekatkan dirinya.
Masyarakat Aru juga mengenal sistem pela, seperti antara Desa Karey, Salarem dengan Desa Sia dan Desa Batu Goyang dengan Beltubur, dan masih dipegang erat masyarakat. Hal ini terbukti saat survei di Desa Batu Goyang, dimana hampir terjadi perkelahian antar masyarakat, karena ada pencurian sirip hiu milik seorang nelayan. Setelah diusut ternyata seorang warga Desa Beltubur (sementara tinggal di Batu Goyang) yang mengambil sirip hiu itu. Warga tadi kemudian dipukul, kemudian diantar kembali ke desanya, sementara setiap kepala keluarga di Batu Goyang membawa satu sirip hiu untuk mengganti sirip-sirip hiu yang telah dicuri.
Selain pela, masyarakat Aru masih menganut sistem sasi. Sasi juga mengatur waktu penangkapan, alat yang digunakan serta ukurannya. Sasi umumnya dilakukan terhadap siput mutiara, teripang dan lola di laut serta sagu, kelapa dan buah-buahan di darat. Pada waktu buka sasi, masyarakat berduyun-duyun mengambil hasil-hasil laut yang disasi, walaupun air surut berlangsung pada malam hari. Hal ini dijumpai di Desa Apara, ketika akan melakukan pertemuan di malam hari, masyarakat meminta agar dilakukan pada sore hari karena akan pergi “bameti”di malam hari.
No comments:
Post a Comment