Ikan layang merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat
penting bagi kebutuhan hidup manusia. Bagi penduduk Indonesia kebutuhan akan
protein ini masih jauh dari mencukupi, oleh karena itu salah satu jalan untuk
mengatasinya dengan mempertinggi hasil produksi perikanan (Yoesoef ,1974).
Ikan layang (Decapterus) termasuk komponen perikanan
pelagis yang penting di Indonesia dan biasanya hidup bergerombol dengan ikan
lain seperti lemuru (Sardinella sirm),
tembang (Sardinella fimbriata, S. perforata),
kembung (Rastrellinger kanagurta, R. Brachysoma), selar (Caranx sp), dan ekor kuning (Caesio sp). Di perairan Indonesia terdapat 5 jenis yang umum dijumpai yaitu Decapterus lajang, D. ruselli, D. macrosoma,
D. kurroides dan D. maruadsi.
Nama ilmiah ikan layang
ialah Decapterus sp, yang terdiri dari dua suku kata yaitu
Deca berarti sepuluh dan pteron bermakna sayap. Jadi decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh sayap. Nama ini
kaitannya dengan ikan layang berarti jenis ikan yang mampu bergerak cepat di
air laut, kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai karena bentuknya seperti
cerutu dan sisiknya sangat halus. Marga decapterus
ini mempunyai tanda khusus yaitu sebuah finlet yang terdapat di belakang sirip
punggung dan sirip dubur, mempunyai bentuk yang bulat memanjang dan pada bagian
belakang garis sisi (lateral line)
terdapat sisik- sisik berlengir (lateral
scute). (Weber & Beaufort, 1993).
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Subclas :
Actinopteri
Ordo : Perciformes
Subordo : Percoidei
Family : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus macrosoma
Habitat dan Daerah Penyebaran
Daerah sebaran ikan layang
sangat luas, yaitu di perairan tropis dan subtropis. Sebagian besar populasi
ikan ini terdapat di Samudera Atlantik bagian utara sampai ke Cape Cod dan
sebelah selatan sampai ke Brasilia. Di wilayah Indo-Pasifik ikan ini tersebar
antara Jepang di bagian utara dan pantai Natal di bagian selatan. Menurut
Handenberg (1937), di laut Jawa ikan ini tersebar mengikuti pergerakan
salinitas dan persediaan makanan yang sesuai dengan hidupnya. Penyebaran kelima
jenis ikan layang marga Decapeterus baik
di perairan Indonesia maupun di mancanegara.
Decapterus
macrosomai:
Indonesia: Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon, Selat
Makasar, Selat Bali, Selat Sunda dan Selat Madura
Mancanegara: Jenis ikan ini tersebar luas di
daerah Indo- Pasifik, mulai dari laut Merah dan pantai timur Afrika Selatan
terus ke Aden, Sekotra, Zanzibar, Madagaskar, Arab Selatan, Malaysia, ke arah
utara sampai ke Filipina, Pulau-pulau Riu Kiu dan Jepang (Weber & Beaufort,
1993).
Aspek Biologi
Ukuran Panjang
Pencatatan ukuran panjang ikan
bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu (Burhanuddin et al, 1981). Secara umum tubuh ikan dapat dibedakan
menjadi tiga bagian yaitu, kepala, badan, dan ekor. Bagian kepala diukur dari ujung mulut sampai
bagian belakang tutup insang (overculum), bagian badan mulai dari belakang
overculum sampai pangkal sirip dubur dan bagian ekor mulai pangkal sirip
dubur sampai dengan ujung ekor.
1. Panjang total (total lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan
bagian kepala sampai dengan ujung akhir bagian ekor.
2. Panjang cagak (fork lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan sampai
ujung bagian luar lekukan ekor.
3. Panjang baku (standart lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari yang
terdepan sampai ujung terakhir dari tulang punggung.
Hubungan Panjang Berat
Menurut
Bayliff (1966) dalam Merta (1993)
hubungan panjang berat ikan dan distribusi panjangnya perlu diketahui
terutama apabila diperlukan konversi statistik hasil tangkapan dalam berat ke
jumlah ikan, menduga besarnya populasi dan laju – laju kematiannya. Vanichkul
dan Hongskul (1966) dalam Merta
(1993) juga menyatakan bahwa hubungan panjang berat juga diperlukan dalam
mengatur perikanan, yaitu menentukan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan
yang ukurannya tidak dikehendaki tidak ikut tertangkap. Selain itu menurut
Mauck dan Summerfelt (1970) dalam
Merta (1993) kegunaan lain dari hubungan panjang berat ikan adalah untuk
mengetahui koefisien kondisi dari ikan yang menunjukkan kegemukan relatif atau
“well being” dari ikan yang
bersangkutan.
Perubahan panjang dan berat ikan erat kaitannya dengan perubahan bentuk
tubuh ikan. Perubahan bentuk tubuh sering terjadi bersamaan dengan
pertumbuhannya. Jadi jelas disini bahwa pertumbuhan erat hubungannya dengan
pertambahan panjang dan berat ikan. Didalam perhitungan kurva pertumbuhan
diperoleh dengan menghubungkan titik – titik yang menyatakan waktu pada sumbu x
dan ukuran panjang atau berat ikan pada sumbu y (Djatikusumo, 1975).
Hasil
studi hubungan panjang berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang kedalam
harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu
fungsi dari panjangnya dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu
tetap selama hidupnya, yang dinyatakan dengan rumus (Effendi, 1979):
W
= a L 3
Namun menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979) pertumbuhan ikan
disertai perubahan bentuk tubuh, panjang, dan beratnya sehingga dapat
dinyatakan dengan rumus:
W = a L b ( a dan b konstanta )
Selanjutnya
Rousenffel dan Everhart (1953) dan Lagler (1961) dalam Effendi (2002) mengemukakan bahwa cara yang digunakan untuk
menghitung panjang dan berat ikan adalah dengan menggunakan regresi, yaitu
dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap – tiap panjang dan berat ikan.
Kriteria
nilai pertumbuhan ikan berdasarkan harga b yang dikemukakan oleh Ricker (1975) dalam Effendi (1979) adalah sebagai
berikut :
- Bila b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric negative.
- Bila b = 3 maka pertambahan panjang dan berat seimbang yang disebut tipe pertumbuhan yang isometric.
3. Bila b > 3 maka pertambahan panjang tidak
secepat pertambahn berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric positive.
Faktor Kondisi
Menurut
Lagler (1961) dalam Effendi (1979)
faktor kondisi atau ponderal indek adalah keadaan yang menyatakan kemontokan
ikan dengan angka. Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor kondisi ini
menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk
survival dan reproduksi. Didalam penggunaan secara komersil maka kondisi ini
mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat
dimakan.
Menurut
Effendi (1979) harga satuan K akan terlihat kegunaannya apabila dibandingkan
dengan individu lainnya atau antara satu kepada grup yang lain. Harga K itu berkisar antara 3 – 4 apabila
badan ikan itu agak pipih. Sedangkan untuk ikan–ikan yang pipih harga K
berkisar antara 1 – 2. Variasi harga K itu bergantung kepada makanan, umur,
jenis sex dan kematangan gonad.
Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Badrudin (1978) dalam Pawarti dan Herianti (1993) bahwa pectoral indek adalah suatu
nilai kegemukan yang menyatakan tentang kegemukan ikan, nilai ini sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dalam artian kesuburan perairan, juga dipengaruhi
oleh jenis kelamin, umur, maupun tingkat kematangan gonad.
Rasio Jenis Kelamin
Pengamatan jenis kelamin ikan
merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari struktur populasi. Dengan
mengetahui perbandingan jenis kelamin dapat diduga keseimbangan populasi yang
ada dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu
sediaan adalah 1 : 1, dengan demikian
populasi dinyatakan dalam keadaan seimbang (Purwanto et al., 1986 dalam
Effendie, 2002).
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat
kematangan gonad merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang belangsung pada
individu ikan dalam populasi yang dicirikan oleh adanya perbedaan ukuran diameter
telur (Rustam et al, 1993).
Pengetahuan
tentang tingkat kematangan gonad ikan sangat diperlukan, antara lain untuk
menentukan atau mengetahui perbandingan ikan yang masak gonadnya dengan yang
belum dari stok yang ada dalam perairan, ukuran atau umur ikan pertama kali
matang gonad, apakah ikan sudah memijah atau belum, kapan masa pemijahannya,
berapa lama saat pemijahannya, berapakali pemijahannya dalam satu tahun, dan
sebagainya (Effendi, 1979).
Burhanuddin et al, (1981) juga menambahkan bahwa pengetahuan tentang tingkat
kematangan gonad ikan diperlukan untuk mengetahui musim-musim ikan memijah,
sehingga penangkapannya dapat dikontrol.
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu
dengan mengukur panjang gonad dan rongga tubuh, di samping melihat dengan mata
saja warna gonad dan pembuluh darah, serta dengan melihat ada tidaknya
butir-butir telur.
Selain itu Holden dan Rait
(1974) juga menyatakan hal yang sama bahwa pengetahuan tentang jenis kelamin
dan tingkat kematangan gonad dari ikan merupakan salah satu pengetahuan dasar
dari biologi reproduksi yang dapat juga dipergunakan untuk menduga ukuran ikan
mencapai kematangan gonad, waktu dan tempat pemijahan
Menurut
Effendi (1979) bebarapa tanda yang dipakai untuk pembeda kelompok dalam
penentuan tingkat kematangan gonad di laboratorium atau dilapangan diantaranya
ialah :
a. Untuk ikan betina: -
Bentuk ovarium
- Besar kecilnya ovarium
- Pengisian ovarium dalam rongga tubuh
- Warna ovarium
- Halus tidaknya ovarium - Ukuran telur dalam ovarium
- Kejelasan bentuk
- Warna dan ukuran telur
b. Untuk ikan jantan: - Bentuk testes
-
Besar kecilnya testes
-
Pengisian testes dalam rongga tubuh
Ukuran Pertama Kali Ikan Matang Gonad (Lm)
Ukuran
panjang pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi yang perlu
diketahui dalam memanfaatkan suatu sumberdaya ikan. Dengan diketahuinya
informasi tersebut maka dapat dijadikan sebagai suatu dasar pengelolaan
sumberdaya ikan yakni pada ukuran panjang tertentu harus membiarkan sejumlah
ikan untuk melakukan perkembangbiakkan sehingga kelestarian sumberdayanya dapat
terjaga (Krissunari dan Hariati, 2000).
Menurut Widodo (1988)
reproduksi adalah proses perkembangbiakkan jenis ikan sebagai upaya untuk
mempertahankan kelangsungan generasinya. Proses perkembangbiakkan pada ikan dimulai pada saat mencapai tingkat
kematangan gonad pada saat ukuran tertentu. Ukuran panjang pertama kali matang
gonad sangat bervariasi diantara jenis ikan maupun dalam jenis ikan itu
sendiri. Hal tersebut menurut Rusmaji (1990) dan Joseph (1963) dalam Zubaidi (1994) disebabkan antara
lain karena perbedaan dalam hal kondisi lingkungan perairan, ketersediaan
maksanan, suhu, salinitas, kecepatan pertumbuhan, dan juga waktu melakukan
pengamatan. Menurut Nikolski (1963) dalam
Krissunari dan Hariati (2000) faktor lingkungan yang sangat berperan adalah
faktor makanan, sehingga apabila ikan – ikan muda yang belum matang gonad
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak maka ikan – ikan tersebut akan
lebih cepat tumbuh dan mencapai kematangan gonad pada panjang tertentu.
Ukuran Pertama Kali Ikan Tertangkap (Lc)
Ukuran
pertama kali ikan tertangkap adalah panjang dimana 50 % ikan yang masuk jaring
tertahan dan 50 % nya lolos lewat mata jaring. Penentuan nilai Lc sangat
bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena dapat digunakan untuk
menentukan ukuran mata jaring yang boleh dipergunakan dalam mengeksploitasi
spesies ikan tertentu supaya dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan
(Sparre & Vanema, 1999 ).
Menurut
Beverton & Holt (1957) dalam Sparre
& Venema (1999) nilai Lc ini memiliki arti untuk ikan yang berukuran
panjang dibawah nilai Lc, jumlah yang diestimasi kurang dari semestinya (under-estimated), sedangkan untuk ikan
yang memiliki ukuran panjang lebih dari nilai Lc, jumlah yang diestimasi lebih
dari semestinya (over-estimated).
Aspek Perikanannya
Alat Tangkap Pukat Cincin
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di
bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak
terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna menggunakan pukat cincin, kalau pun
ada hanya berskala kecil.
Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan
jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian
secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring
akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak
dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu
dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk (Sadhori,
1985).
Menurut Menteri
Eksplorasi Laut dan Perikanan (2000) setiap perusahaan perikanan yang melakukan
kegiatan usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan wajib memiliki IUP
(Izin Usaha Perikanan), yaitu izin tertulis yang haruus dimiliki oleh
perusahaan perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha
penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkapan
ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan
digunakan. Dan setiap perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP, sebelum
melakukan usaha penangkapan ikan, wajib memiliki SPI (Surat Penangkapan
Ikan) bagi setiap kapal yang
dipergunakan, yaitu surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera
Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP. Surat
Penangkapan Ikan (SPI) diberikan untuk jangka waktu 1 tahun untuk perikanan
demersal.
Selektifitas Alat Tangkap Pukat Cincin
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di
bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Pukat cincin dioperasikan dengan cara
melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan
cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada,
sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan
agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk
jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau
penciduk. Apabila hasil sampinganannya lebih banyak daripada hasil tangkapan utama maka
alat tersebut tidak selektif (ayodhya, 1981).
Daerah
Penangkapan
Ikan
layang merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan
hampir di seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap baik dalam jumlah
besar maupun sedikit. Daerah penangkapan utama ikan layang ialah Jawa,
Sulawesi, Selayar, Ambon yang merupakan tempat pendaratan terbesar ikan ini.
Dan Sulawesi selatan. Cara penangkapan tradisional ikan layang yang dilakukan
oleh nelayan Indonesia di perairaan tertentu sudah mulai berubah (Burhanudin et al 1984).
Daerah penangkapan ikan bagi
nelayan di PPP Juwana, Pati di sekitar Utara Jawa. Jenis alat tangkap yang
beroperasi adalah : pukat ikan, long line, purse seine, gill net, jaring udang.
Aspek Sumber Daya Ikan
Menurut Widodo et al. (1998), ikan- ikan pelagis kecil
adalah ikan- ikan yang hidup di permukaan perairan yang merupakan bagian
terbesar dari potensi sumber daya ikan di Indonesia. Dari potensi sumber daya
ikan Indonesia yang diperkirakan sebesar 6,7 ton per tahun di antaranya 3,5
juta ton terdiri dari ikan- ikan pelagis kecil atau 52% dari total potensi.
Sebagian besar dari produksi pelagis kecil berasal dari kawasan perairan
Indonesia sebelah barat (Selat Malaka, Laut Jawa dan Selat Bali), sedang
kawasan sebelah timur dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diusahakan
sepenuhnya.
Jenis-
jenis yang menunjang dan merupakan hasil tangkapan yang melimpah (bulk catch)
karena populasinya cukup besar adalah ikan layang (Decapterus spp), ian
siro (Amblygaster sirm), ikan tembang
(Sardinella fimbriata), ikan teri (Stolephorus spp), dan ikan kembung (Rastrellinger
spp).
Selanjutnya
menurut Widodo et al. (1998), jenis-
jenis atau kelompok jenis tersebut umumnya penyebarannya terdapat hampir di
seluruh perairan pantai Indonesia kecuali ikan lemuru yang hanya terdapat di
Selat Bali dan sekitarnya. Di samping penyebarannya yang sangat luas,
penangkapan sumber daya ikan pelagis kecil juga dipengaruhi oleh musim. Pada
umumnya musim penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Indonesia berlangsung
pada akhir musim Timur dan awal musim Barat. (sekitar bulan Agustus sampai
dengan bulan November). Hal ini berhubungan dengan dengan kesuburan perairan
akibat adanya umbalan (penaikan massa air dari lapisan dasar) pada musim Timur
seperti yang terjadi di Laut Banda, dan Laut Jawa bagian Timur.
Khusus
di Laut Jawa, kondisi lingkungan perairannya dipengaruhi massa air Laut Cina
Selatan dan Laut Flores. Selama musim Timur (Mei sampai Oktober) mendapat
pengaruh massa air dari Laut Flores yang bersalinitas 34 sampai 35 permil,
sedangkan pada musim barat (November sampai April) dipengaruhi oleh massa air
yang bersalinitas 32 permil dari Laut Cina Selatan melalui Selat Karimata dan
Selat Gaspar. Dari uraian ini memberikan kejelasan adanya pengaruh massa air
yang berbeda yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan pelagis kecil di Laut Jawa
berdasarkan ruang dan waktu (Hariati, 1988).
Aspek Teknis
Aspek teknis suatu usaha atau
kegiatan di titik beratkan pada seberapa jauh keterkaitan antara usaha tersebut
dengan sumber daya, tingkat ketrampilan, teknologi dan sarana yang dimiliki. Seperti
yang telah ditegaskan oleh Widodo et al.
(1998), bahwa dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam mempelajari
dinamika populasi, tingkah laku, dan aspek- aspek biologi lainnya juga sangat
diperlukan dalam usaha pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil. Hal ini
sudah mulai terlihat, misalnya dalam mempelajari sifat- sifat gerombolan dan
tingkah laku ikan pelagis kecil disekitar rumpon serta pengaruh daya tarik
cahaya lampu dengan memanfaatkan teknologi akustik. Untuk menentukan populasi
dan lokasi penangkapan secara geografis digunakan teknologi GPS (Global
Positioning System) dan untuk komunikasi digunakan teknologi SSB (Single Side
Band).
Selanjutnya
dukungan Ilmu Pengetahuna dan Teknologi tidak saja penting dan diperlukan dalam
pengkajian aspek- aspek biologi, tetapi juga dalam pengkajian aspek- aspek
teknologi penangkapan, pasca panen, sosial, budaya, dan ekonomi. Teknologi alat
tangkap dan teknologi penangkapan serta alat bantu penagkapan terus berkembang,
misalnya, teknologi penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan pukat
cincin atau purse seineer yang dibantu oleh rumpon atau payaos dan cahaya lampu
serta mesin bantu penarik jaring “net hauler” atau “line hauler” penggunaan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dari alat- alat tersebut dapat lebih
mengefisienkan operasi penangkapan dan meningkatkan nilai tambah (Widodo et al, 1998).
Menurut
Husnan dan Suwarso (1988) penentuan kelayakan teknologi mempunyai beberapa
kriteria yang dapat dijadikan patokan atau standar. Kriteria tersebut antara
lain:
- ketepatan jenis teknologi yang digunakan dalam usahanya/ kegiatannya.
- Pengetahuan atau ketrampilan tenaga kerja setempat dan kemungkinan pengembangannya.
Aspek Sosial Ekonomi
Sumber daya ikan pelagis kecil
sangat penting arti dan peranannya dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang
tidak saja merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan bagi sebagian besar
msyarakat nelayan, tapi juga merupakan sumber bahan makanan dan sumber protein
hewani bagi masyarakat. Selain itu juga merupakan lapagan dan kesempatan kerja
yang cukup besar (Widodo et al., 1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa
kriteria nelayan mempunyai ciri- ciri antara lain :
- Total pendapatan perkapita, baik yang berasal dari perikanan maupun di luar perikanan rata- rata masih lebih rendah dari garis kemiskinan.
- Unit usaha umumnya berskala kecil.
- Tenaga kerja keluarga yang dimiliki umumnya berlebihan sehingga masih dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga di luar perikanan.
- Pemilikan modal relatif kecil, sehingga kurang mampu untuk memiliki unit usaha yang lebih besar.
- Tingkat pendidikan, ketrampilan dan inovasi nelayan dan keluarganya terhadap teknologi baru relatif rendah.