WELCOME

INI ADALAH BLOG BAGI SEMUA KALANGAN YANG MENCINTAI KEINDAHAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN SEMOGA BERMANFAAT BUAT SEMUANYA.....MERDEKA...!!!!

Wednesday, November 27, 2013

Ikan Layang (Decapterus)



Ikan layang merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat penting bagi kebutuhan hidup manusia. Bagi penduduk Indonesia kebutuhan akan protein ini masih jauh dari mencukupi, oleh karena itu salah satu jalan untuk mengatasinya dengan mempertinggi hasil produksi perikanan (Yoesoef ,1974).
            Ikan layang (Decapterus) termasuk komponen perikanan pelagis yang penting di Indonesia dan biasanya hidup bergerombol dengan ikan lain seperti lemuru (Sardinella sirm), tembang (Sardinella fimbriata, S. perforata), kembung (Rastrellinger kanagurta, R. Brachysoma), selar (Caranx sp), dan ekor kuning (Caesio sp). Di perairan Indonesia terdapat 5 jenis yang umum dijumpai yaitu Decapterus lajang, D. ruselli, D. macrosoma, D. kurroides dan D. maruadsi.
            Nama ilmiah ikan layang ialah Decapterus sp, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Deca berarti sepuluh dan pteron bermakna sayap. Jadi decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh sayap. Nama ini kaitannya dengan ikan layang berarti jenis ikan yang mampu bergerak cepat di air laut, kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Marga decapterus ini mempunyai tanda khusus yaitu sebuah finlet yang terdapat di belakang sirip punggung dan sirip dubur, mempunyai bentuk yang bulat memanjang dan pada bagian belakang garis sisi (lateral line) terdapat sisik- sisik berlengir (lateral scute). (Weber & Beaufort, 1993).

Phylum            : Chordata
Sub phylum     : Vertebrata    
Class                : Osteichthyes
Subclas            : Actinopteri      
Ordo                : Perciformes
Subordo          : Percoidei    
Family             : Carangidae
Genus              : Decapterus
Spesies            : Decapterus macrosoma       
Habitat dan Daerah Penyebaran
Daerah sebaran ikan layang sangat luas, yaitu di perairan tropis dan subtropis. Sebagian besar populasi ikan ini terdapat di Samudera Atlantik bagian utara sampai ke Cape Cod dan sebelah selatan sampai ke Brasilia. Di wilayah Indo-Pasifik ikan ini tersebar antara Jepang di bagian utara dan pantai Natal di bagian selatan. Menurut Handenberg (1937), di laut Jawa ikan ini tersebar mengikuti pergerakan salinitas dan persediaan makanan yang sesuai dengan hidupnya. Penyebaran kelima jenis ikan layang marga Decapeterus baik di perairan Indonesia maupun di mancanegara.
Decapterus macrosomai:
Indonesia: Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon, Selat Makasar, Selat Bali, Selat Sunda dan Selat Madura
Mancanegara: Jenis ikan ini tersebar luas di daerah Indo- Pasifik, mulai dari laut Merah dan pantai timur Afrika Selatan terus ke Aden, Sekotra, Zanzibar, Madagaskar, Arab Selatan, Malaysia, ke arah utara sampai ke Filipina, Pulau-pulau Riu Kiu dan Jepang (Weber & Beaufort, 1993).           
Aspek Biologi
Ukuran Panjang
Pencatatan ukuran panjang ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu (Burhanuddin et al, 1981).  Secara umum tubuh ikan dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, kepala, badan, dan ekor.  Bagian kepala diukur dari ujung mulut sampai bagian belakang tutup insang (overculum), bagian badan mulai dari belakang overculum sampai pangkal sirip dubur dan bagian ekor mulai pangkal sirip dubur sampai dengan ujung ekor. 


 
Effendi (2002) menjelaskan bahwa pengukuran panjang ikan dapat dilakukan dengan cara – cara sebagai berikut :
1.      Panjang total (total lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai dengan ujung akhir bagian ekor.
2.      Panjang cagak (fork lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.
3.      Panjang baku (standart lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari yang terdepan sampai ujung terakhir dari tulang punggung.

Hubungan Panjang Berat

            Menurut Bayliff (1966) dalam Merta (1993) hubungan panjang berat ikan dan distribusi panjangnya perlu diketahui terutama apabila diperlukan konversi statistik hasil tangkapan dalam berat ke jumlah ikan, menduga besarnya populasi dan laju – laju kematiannya. Vanichkul dan Hongskul (1966) dalam Merta (1993) juga menyatakan bahwa hubungan panjang berat juga diperlukan dalam mengatur perikanan, yaitu menentukan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang ukurannya tidak dikehendaki tidak ikut tertangkap. Selain itu menurut Mauck dan Summerfelt (1970) dalam Merta (1993) kegunaan lain dari hubungan panjang berat ikan adalah untuk mengetahui koefisien kondisi dari ikan yang menunjukkan kegemukan relatif atau “well being” dari ikan yang bersangkutan.
            Perubahan panjang dan berat ikan erat kaitannya dengan perubahan bentuk tubuh ikan. Perubahan bentuk tubuh sering terjadi bersamaan dengan pertumbuhannya. Jadi jelas disini bahwa pertumbuhan erat hubungannya dengan pertambahan panjang dan berat ikan. Didalam perhitungan kurva pertumbuhan diperoleh dengan menghubungkan titik – titik yang menyatakan waktu pada sumbu x dan ukuran panjang atau berat ikan pada sumbu y (Djatikusumo, 1975).
            Hasil studi hubungan panjang berat ikan mempunyai nilai praktis yang   memungkinkan merubah nilai panjang kedalam harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya, yang dinyatakan dengan rumus   (Effendi, 1979):
                                                W = a L 3
            Namun menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979) pertumbuhan ikan disertai perubahan bentuk tubuh, panjang, dan beratnya sehingga dapat dinyatakan dengan rumus:
                                    W = a L b (  a dan b konstanta )
            Selanjutnya Rousenffel dan Everhart (1953) dan Lagler (1961) dalam Effendi (2002) mengemukakan bahwa cara yang digunakan untuk menghitung panjang dan berat ikan adalah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap – tiap panjang dan berat ikan.
            Kriteria nilai pertumbuhan ikan berdasarkan harga b yang dikemukakan oleh Ricker (1975) dalam Effendi (1979) adalah sebagai berikut :
  1. Bila b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric negative.
  2. Bila b = 3 maka pertambahan panjang dan berat seimbang yang disebut tipe pertumbuhan yang isometric.
3.       Bila b > 3 maka pertambahan panjang tidak secepat pertambahn berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric positive.

Faktor Kondisi

            Menurut Lagler (1961) dalam Effendi (1979) faktor kondisi atau ponderal indek adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Didalam penggunaan secara komersil maka kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan.
            Menurut Effendi (1979) harga satuan K akan terlihat kegunaannya apabila dibandingkan dengan individu lainnya atau antara satu kepada grup yang lain. Harga K itu berkisar antara 3 – 4 apabila badan ikan itu agak pipih. Sedangkan untuk ikan–ikan yang pipih harga K berkisar antara 1 – 2. Variasi harga K itu bergantung kepada makanan, umur, jenis sex dan kematangan gonad.
            Hal yang sama juga diungkapkan oleh Badrudin (1978) dalam Pawarti dan Herianti (1993) bahwa pectoral indek adalah suatu nilai kegemukan yang menyatakan tentang kegemukan ikan, nilai ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dalam artian kesuburan perairan, juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, maupun tingkat kematangan gonad.

Rasio Jenis Kelamin

Pengamatan jenis kelamin ikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari struktur populasi. Dengan mengetahui perbandingan jenis kelamin dapat diduga keseimbangan populasi yang ada dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu sediaan adalah   1 : 1, dengan demikian populasi dinyatakan dalam keadaan seimbang (Purwanto et al., 1986 dalam Effendie, 2002).         

Tingkat Kematangan Gonad

            Tingkat kematangan gonad merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang belangsung pada individu ikan dalam populasi yang dicirikan oleh adanya perbedaan ukuran diameter telur (Rustam et al, 1993).
            Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad ikan sangat diperlukan, antara lain untuk menentukan atau mengetahui perbandingan ikan yang masak gonadnya dengan yang belum dari stok yang ada dalam perairan, ukuran atau umur ikan pertama kali matang gonad, apakah ikan sudah memijah atau belum, kapan masa pemijahannya, berapa lama saat pemijahannya, berapakali pemijahannya dalam satu tahun, dan sebagainya (Effendi, 1979).
Burhanuddin et al, (1981) juga menambahkan bahwa pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad ikan diperlukan untuk mengetahui musim-musim ikan memijah, sehingga penangkapannya dapat dikontrol.  Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu dengan mengukur panjang gonad dan rongga tubuh, di samping melihat dengan mata saja warna gonad dan pembuluh darah, serta dengan melihat ada tidaknya butir-butir telur.
Selain itu Holden dan Rait (1974) juga menyatakan hal yang sama bahwa pengetahuan tentang jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dari ikan merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi yang dapat juga dipergunakan untuk menduga ukuran ikan mencapai kematangan gonad, waktu dan tempat pemijahan
            Menurut Effendi (1979) bebarapa tanda yang dipakai untuk pembeda kelompok dalam penentuan tingkat kematangan gonad di laboratorium atau dilapangan diantaranya ialah :
a. Untuk ikan betina:  - Bentuk ovarium
                              - Besar kecilnya ovarium
                              - Pengisian ovarium dalam rongga tubuh
                              - Warna ovarium
                              - Halus tidaknya ovarium                                                                                                        - Ukuran telur dalam ovarium
                              - Kejelasan bentuk
                              - Warna dan ukuran telur
b. Untuk ikan jantan: - Bentuk testes
                                    - Besar kecilnya testes
                                    - Pengisian testes dalam rongga tubuh

Ukuran Pertama Kali Ikan Matang Gonad (Lm)

            Ukuran panjang pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi yang perlu diketahui dalam memanfaatkan suatu sumberdaya ikan. Dengan diketahuinya informasi tersebut maka dapat dijadikan sebagai suatu dasar pengelolaan sumberdaya ikan yakni pada ukuran panjang tertentu harus membiarkan sejumlah ikan untuk melakukan perkembangbiakkan sehingga kelestarian sumberdayanya dapat terjaga (Krissunari dan Hariati, 2000).
Menurut Widodo (1988) reproduksi adalah proses perkembangbiakkan jenis ikan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan generasinya. Proses perkembangbiakkan pada ikan dimulai pada saat mencapai tingkat kematangan gonad pada saat ukuran tertentu. Ukuran panjang pertama kali matang gonad sangat bervariasi diantara jenis ikan maupun dalam jenis ikan itu sendiri. Hal tersebut menurut Rusmaji (1990) dan Joseph (1963) dalam Zubaidi (1994) disebabkan antara lain karena perbedaan dalam hal kondisi lingkungan perairan, ketersediaan maksanan, suhu, salinitas, kecepatan pertumbuhan, dan juga waktu melakukan pengamatan. Menurut Nikolski (1963) dalam Krissunari dan Hariati (2000) faktor lingkungan yang sangat berperan adalah faktor makanan, sehingga apabila ikan – ikan muda yang belum matang gonad mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak maka ikan – ikan tersebut akan lebih cepat tumbuh dan mencapai kematangan gonad pada panjang tertentu.

Ukuran Pertama Kali Ikan Tertangkap (Lc)

            Ukuran pertama kali ikan tertangkap adalah panjang dimana 50 % ikan yang masuk jaring tertahan dan 50 % nya lolos lewat mata jaring. Penentuan nilai Lc sangat bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena dapat digunakan untuk menentukan ukuran mata jaring yang boleh dipergunakan dalam mengeksploitasi spesies ikan tertentu supaya dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan (Sparre & Vanema, 1999 ).
            Menurut Beverton & Holt (1957) dalam Sparre & Venema (1999) nilai Lc ini memiliki arti untuk ikan yang berukuran panjang dibawah nilai Lc, jumlah yang diestimasi kurang dari semestinya (under-estimated), sedangkan untuk ikan yang memiliki ukuran panjang lebih dari nilai Lc, jumlah yang diestimasi lebih dari semestinya (over-estimated).
 Aspek Perikanannya
Alat Tangkap Pukat Cincin
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna menggunakan pukat cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil.
            Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk (Sadhori, 1985).
Menurut Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan (2000) setiap perusahaan perikanan yang melakukan kegiatan usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan wajib memiliki IUP (Izin Usaha Perikanan), yaitu izin tertulis yang haruus dimiliki oleh perusahaan perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkapan ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan digunakan. Dan setiap perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP, sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, wajib memiliki SPI (Surat Penangkapan Ikan)  bagi setiap kapal yang dipergunakan, yaitu surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP. Surat Penangkapan Ikan (SPI) diberikan untuk jangka waktu 1 tahun untuk perikanan demersal.

Selektifitas Alat Tangkap Pukat Cincin

Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk. Apabila hasil sampinganannya lebih banyak daripada hasil tangkapan utama maka alat tersebut tidak selektif (ayodhya, 1981).
Daerah Penangkapan
Ikan layang merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir di seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap baik dalam jumlah besar maupun sedikit. Daerah penangkapan utama ikan layang ialah Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon yang merupakan tempat pendaratan terbesar ikan ini. Dan Sulawesi selatan. Cara penangkapan tradisional ikan layang yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairaan tertentu sudah mulai berubah (Burhanudin et al 1984).
Daerah penangkapan ikan bagi nelayan di PPP Juwana, Pati di sekitar Utara Jawa. Jenis alat tangkap yang beroperasi adalah : pukat ikan, long line, purse seine, gill net, jaring udang.

Beberapa Aspek Yang Penting Diperhatikan Dalam Usaha Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil
Aspek Sumber Daya Ikan
Menurut Widodo et al. (1998), ikan- ikan pelagis kecil adalah ikan- ikan yang hidup di permukaan perairan yang merupakan bagian terbesar dari potensi sumber daya ikan di Indonesia. Dari potensi sumber daya ikan Indonesia yang diperkirakan sebesar 6,7 ton per tahun di antaranya 3,5 juta ton terdiri dari ikan- ikan pelagis kecil atau 52% dari total potensi. Sebagian besar dari produksi pelagis kecil berasal dari kawasan perairan Indonesia sebelah barat (Selat Malaka, Laut Jawa dan Selat Bali), sedang kawasan sebelah timur dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diusahakan sepenuhnya.
            Jenis- jenis yang menunjang dan merupakan hasil tangkapan yang melimpah (bulk catch) karena populasinya cukup besar adalah ikan layang (Decapterus spp), ian siro (Amblygaster sirm), ikan tembang (Sardinella fimbriata), ikan teri (Stolephorus spp), dan ikan kembung (Rastrellinger spp).
            Selanjutnya menurut Widodo et al. (1998), jenis- jenis atau kelompok jenis tersebut umumnya penyebarannya terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia kecuali ikan lemuru yang hanya terdapat di Selat Bali dan sekitarnya. Di samping penyebarannya yang sangat luas, penangkapan sumber daya ikan pelagis kecil juga dipengaruhi oleh musim. Pada umumnya musim penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Indonesia berlangsung pada akhir musim Timur dan awal musim Barat. (sekitar bulan Agustus sampai dengan bulan November). Hal ini berhubungan dengan dengan kesuburan perairan akibat adanya umbalan (penaikan massa air dari lapisan dasar) pada musim Timur seperti yang terjadi di Laut Banda, dan Laut Jawa bagian Timur.
            Khusus di Laut Jawa, kondisi lingkungan perairannya dipengaruhi massa air Laut Cina Selatan dan Laut Flores. Selama musim Timur (Mei sampai Oktober) mendapat pengaruh massa air dari Laut Flores yang bersalinitas 34 sampai 35 permil, sedangkan pada musim barat (November sampai April) dipengaruhi oleh massa air yang bersalinitas 32 permil dari Laut Cina Selatan melalui Selat Karimata dan Selat Gaspar. Dari uraian ini memberikan kejelasan adanya pengaruh massa air yang berbeda yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan pelagis kecil di Laut Jawa berdasarkan ruang dan waktu (Hariati, 1988).
Aspek Teknis
Aspek teknis suatu usaha atau kegiatan di titik beratkan pada seberapa jauh keterkaitan antara usaha tersebut dengan sumber daya, tingkat ketrampilan, teknologi dan sarana yang dimiliki. Seperti yang telah ditegaskan oleh Widodo et al. (1998), bahwa dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam mempelajari dinamika populasi, tingkah laku, dan aspek- aspek biologi lainnya juga sangat diperlukan dalam usaha pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil. Hal ini sudah mulai terlihat, misalnya dalam mempelajari sifat- sifat gerombolan dan tingkah laku ikan pelagis kecil disekitar rumpon serta pengaruh daya tarik cahaya lampu dengan memanfaatkan teknologi akustik. Untuk menentukan populasi dan lokasi penangkapan secara geografis digunakan teknologi GPS (Global Positioning System) dan untuk komunikasi digunakan teknologi SSB (Single Side Band).
            Selanjutnya dukungan Ilmu Pengetahuna dan Teknologi tidak saja penting dan diperlukan dalam pengkajian aspek- aspek biologi, tetapi juga dalam pengkajian aspek- aspek teknologi penangkapan, pasca panen, sosial, budaya, dan ekonomi. Teknologi alat tangkap dan teknologi penangkapan serta alat bantu penagkapan terus berkembang, misalnya, teknologi penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan pukat cincin atau purse seineer yang dibantu oleh rumpon atau payaos dan cahaya lampu serta mesin bantu penarik jaring “net hauler” atau “line hauler” penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dari alat- alat tersebut dapat lebih mengefisienkan operasi penangkapan dan meningkatkan nilai tambah (Widodo et al, 1998).
            Menurut Husnan dan Suwarso (1988) penentuan kelayakan teknologi mempunyai beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan atau standar. Kriteria tersebut antara lain:
  1. ketepatan jenis teknologi yang digunakan dalam usahanya/ kegiatannya.
  2. Pengetahuan atau ketrampilan tenaga kerja setempat dan kemungkinan pengembangannya.
 Aspek Sosial Ekonomi
Sumber daya ikan pelagis kecil sangat penting arti dan peranannya dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang tidak saja merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan bagi sebagian besar msyarakat nelayan, tapi juga merupakan sumber bahan makanan dan sumber protein hewani bagi masyarakat. Selain itu juga merupakan lapagan dan kesempatan kerja yang cukup besar (Widodo et al., 1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa kriteria nelayan mempunyai ciri- ciri antara lain :
  1. Total pendapatan perkapita, baik yang berasal dari perikanan maupun di luar perikanan rata- rata masih lebih rendah dari garis kemiskinan.
  2. Unit usaha umumnya berskala kecil.
  3. Tenaga kerja keluarga yang dimiliki umumnya berlebihan sehingga masih dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga di luar perikanan.
  4. Pemilikan modal relatif kecil, sehingga kurang mampu untuk memiliki unit usaha yang lebih besar.
  5. Tingkat pendidikan, ketrampilan dan inovasi nelayan dan keluarganya terhadap teknologi baru relatif rendah.

Membidik Pencuri Ikan Di Laut Arafura

Cuaca di atas bandara Lanud Dumatubun, Langgur, Maluku Tenggara, Jumat (22/11) sekitar pukul 11.00 WIB cukup cerah ketika pesawat bermesin jet ganda Beech (r) 1900 D milik Polri berhasil mengangkat bokongnya dari landasan pacu dan terbang menuju Kepulauan Aru.

Pesawat berkapasitas 18 penumpang itu pas memuat 16 petugas pengawas dari Direktorat Jenderal Pengasawan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan, termasuk Syahrin Abdurrahman, sang Direktur Jenderal, dan dua wartawan, termasuk penulis yang sengaja dibawa untuk menyaksikan secara langsung kegiatan pemantauan terhadap aktivitas kapal penangkap ikan di Laut Arufura dari udara.

Sebelum berangkat, semua peserta mengikuti "briefing" tentang rencana kegiatan pengawasan di empat sektor wilayah laut yang merupakan "lumbung ikan dunia" itu di ruang rapat Kantor Danlanud Dumatubun.

Dari pemapar diketahui bahwa pemantauan menggunakan pesawat terbang dilakukan untuk memudahkan tim kerja di kapal pengawas milik KKP yang siaga di empat titik wilayah Laut Arafura, termasuk Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru.

Sistem kerja itu disebut "pengawasan atas bawah". Artinya, hasil pantauan dari udara berupa foto-foto dan rekaman video serta data koordinat akan diteruskan kepada tim kerja di kapal pengawas sebagai dasar atau pertimbangan untuk melakukan pengecekan atau pengejaran terhadap kapal ikan yang diduga kuat beoperasi secara ilegal.

Menurut Syahrin, sedikitnya Rp11,8 triliun kekayaan Laut Arafura setiap tahun lenyap akibat pencurian ikan, dan karenanya harus bisa dicegah agar tidak berlangsung terus dan merugikan negara.

Meskipun Laut Arafura bukan milik Maluku semata, rakyat daerah ini tentu memandang jumlah kekayaan yang lenyap setiap tahun itu fantastis mengingat APBD-nya yang rata-rata hanya Rp2 triliun, bahkan hingga sekarang status provinsi termiskin ketiga yang disandang belum juga lenyap.

Celakanya, hingga saat ini kapal pengawas yang ada tidak memiliki kemampuan cukup untuk melaksanakan tugas mengejar dan menangkap para pencuri yang memang beroperasi di kawasan yang sulit didekati di lautan seluas 650.000 km2 itu.

"Daya jelajah kapal kita terbatas, termasuk bahan bakar dan logistik bagi ABK. Supaya efektif, kita memantau dari udara, kemudian melaporkannya ke pengawas di kapal. Dari laporan kita, mereka tahu harus bergerak ke arah mana," kata Syahrin.

500 kaki Sesuai dengan jadwal, pemantauan dilakukan selama empat hari berturut-turut, mulai 22--25 November.

Pemantauan pada hari pertama dilakukan di wilayah laut Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru, dua kabupaten di kawasan terselatan Maluku yang berbatasan langsung dengan Australia. Daerah ini memang telah diestimasi sebagai satu dari empat tempat di Indonesia yang "disukai" kapal-kapal pencuri ikan. Daerah lainnya adalah perairan Natuna, Selat Sulawesi Utara, dan kawasan Pasifik.

Sekitar 20 menit setelah lepas landas, tidak banyak kegiatan yang dilakukan para pengawas. Mereka asyik berbincang mengenai kegiatan-kegiatan serupa yang dilakukan sebelumnya, selain menghabiskan ransum makanan dan minuman. Sesekali terdengar suara pilot menjelaskan bahwa posisi pesawat tengah berada di wilayah mana atau di atas pulau apa lewat pengeras suara, sementara awak kabin lainnya melempar pandangan ke luar jendela untuk menikmati gugusan pulau besar dan kecil berpasir putih dan memiliki terumbu karang berwarna hijau-kebiruan di sekeliling pantai.

Di luar itu, kegiatan penting yang dilakukan adalah kencing di WC kecil di bagian belakang pesawat. Maklum, suhu dalam kabin memang cukup dingin. Sekadar gambaran, lubang buang hajat di pesawat itu memiliki penutup yang juga berfungsi sebagai tempat duduk, terletak di sisi pembatas ruang penumpang dengan bagasi.

Memasuki menit ke-90 waktu penerbangan, keasyikan menikmati eksotisme gugusan pulau berakhir, tepatnya ketika pilot lewat pengeras suara mengumumkan adanya sejumlah kapal ikan yang terlihat dari jendela pesawat.

"Mohon izin Pak Dirjen, arah jam 11 ada sekitar tujuh kapal. Kami akan turun dari ketinggian 7.500 ke 3.500 kaki (dari permukaan laut)," kata sang pilot.

Suaranya sontak membuat para pengawas bergegas menyiapkan kamera dengan lensa panjang dan mulai membidik dari kaca jendela samping pesawat. Pilot lalu mengarahkan pesawat ke posisi kapal-kapal ikan yang terlihat untuk memudahkan para pengawas mengambil gambar foto maupun video dari jarak dekat, bahkan hingga 500 kaki dari permukaan laut.

Setelah selesai, pesawat kemudian naik lagi ke ketinggian 7.500 kaki untuk menyusur area lain. Setiap kali pilot melihat ada kapal, pesawat pun turun ke ketinggian yang cukup untuk memudahkan pengambilan gambar, begitu seterusnya hingga jumlah kapal yang terpantau mencapai 162 unit, umumnya jenis pukat ikan, pukat udang, dan pancing cumi, beberapa di antaranya berbendera Thailand, China, dan Taiwan.

Perburuan diputuskan diakhiri setelah waktu penerbangan mencapai 2,5 jam, dan pesawat pun kembali ke Langgur.

SKIPI Kepala Stasiun Pengawasan SDKP Tual Mukhtar, A.Pi., M.Si. saat dihubungi melalui telepon genggamnya, Minggu (24/11), menyatakan sampai hari ketiga pemantauan dari udara berhasil membidik 238 unit kapal yang beroperasi.

"Hari pertama 162, hari kedua 24, dan hari ini 52," katanya.

Lalu, dari ratusan kapal itu adakah yang terdeteksi melakukan pencurian? Ini pertanyaan mendasar yang berkecamuk dalam benak.

Syahrin Abdurrahman mengatakan bahwa pemantauan dari udara memang tidak serta-merta bisa memastikan kapal-kapal mana saja yang beroperasi secara ilegal atau mencuri ikan. Hasil pantuan berupa foto dan rekaman video serta data koordinat target bidik harus diolah baru, kemudian dikirim ke kapal pengawas yang berada pada lokasi terdekat dari kapal-kapal penangkap ikan yang dicurigai ilegal operasinya.

Adapun masalah keterbatasan kemampuan kapal pengawas untuk dapat mengejar dan memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen resmi kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura dan di wilayah perairan lain di Indonesia sudah lama membebani pikiran para petinggi di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebagai contoh, pulau terdekat dari posisi kapal-kapal ikan yang terpantau di perairan Arafura adalah Penambulai di Kabupaten Kepulaian Aru, jaraknya antara 100 mil dan 150 mil. Kendati ada satu kapal pengawas milik KKP siaga di situ, kemampuan jelajahnya hanya 70 mil sehingga tidak sanggup mendatangi kapal-kapal yang harus diperiksa keabsahan operasinya, apalagi kalau harus memeriksanya satu demi satu.

Oleh karena itu, selain pemantauan dari udara, dibutuhkan kapal-kapal baru yang dirancang memiliki kemampuan cukup untuk mengamankan Laut Arafura dari kejahatan pencurian ikan maupun sumber daya hayati laut lainnya seperti udang, lobster, kepiting, dan rajungan.

Saat ini, kata Syahrin, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun empat buah kapal dengan teknologi SKIPI (Sistem Kapal Investigasi Perikanan Indonesia) yang memiliki kemampuan jelajah hingga 200 mil atau batas Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yang selama ini menjadi pusat aksi ilegal fishing.

Kapal tersebut juga memiliki endurance (tenggat waktu tugas) 14 hari dan kecepatan berlayar 20--25 knot atau hampir 50 kilometer per jam, serta tidak takut menghadapi cuaca buruk dengan tinggi gelombang mencapai 3 meter.

Masih dalam proses pembuatan di Jakarta, Surabaya, dan Lampung, empat kapal SKIPI dengan bobot masing-masing 500--600 ton diprediksi baru bisa dioperasikan pada tahun 2015. Anggaran untuk satu unit kapal itu sekitar Rp40 miliar.

Rencananya, empat kapal tersebut akan dikerahkan di empat titik terawan pencurian, yakni Natuna, Selat Sulawesi Utara, Arafura, dan Pasifik.

Menurut Syahrin, idealnya Indonesia memiliki 86 kapal SKIPI untuk mengamankan seluruh wilayah perairannya dari aksi pencurian sumber daya hayati laut bernilai ekonomis, dimana data FAO menyatakan kerugian per tahun akibat ilegal fishing di negara ini mencapai Rp30 triliun.

"Akan tetapi, kalau sudah ada 40 kapal, kemungkinan aksi 'illegal fishing' sudah bisa kita atasi,"

Hilangkan Analogi Ikan Makan Ikan, Ketang Tarik Ketang

AMBON Tribun-Maluku.Com-  Penjabat Gubernur Maluku Saut Situmorang sangat anti dengan analogi  negatif  yang selama ini terjadi pada masyarakat Maluku yaitu  “Ikan Makan Ikan, dan Ketang  yang bukan saling mendukung  tetapi saling menjatuhkan”.

Pernyataan ini disampaikan Saut Situmorang didepan peserta Rapat Kerja Penyelenggaraan Pemerintaha tingkat Provinsi Maluku di Islamic Center Senin (25/11).

Keberanian Situmorang menyampaikan pernyataan ini karena ada pengalaman yang baru saja dihadapinya, setelah dia ditujuk oleh Presiden RI sebagai Karateker Gubernur Maluku.

Dikatakan, Saut bukan orang pintar, namun Saut pun bukan orang  tolol yang mencampur adukan kriteria dan mekanisme jabatan politik dengan jabatan karier.

Analogi-analogi ini harus segera dihilangkan dari mainset masyarakat Maluku dengan kata lain,  nilai-nilai budaya masyarakat Maluku yang  sudah tidak lagi relevan tidak ada salahnya untuk dimodifikasi  sesuai dengan perkembangan kebutuhan atau direkonstruksi ulang dengan menggunakan nilai-nilai yang lebih positif dan konstruktif dalam rangka membangun budaya Maluku.

Hal ini dimaksudkan agar seluruh masyarakat di  Maluku  saling bahu membahu, saling mengisi, saling melengkapi, bekerja keras, berkomitmen untuk saling bergandengan tangan dalam mengejar berbagai ketertinggalan yang selama ini dirasakan dan dialami bersama.