WELCOME

INI ADALAH BLOG BAGI SEMUA KALANGAN YANG MENCINTAI KEINDAHAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN SEMOGA BERMANFAAT BUAT SEMUANYA.....MERDEKA...!!!!

Wednesday, November 27, 2013

Ikan Layang (Decapterus)



Ikan layang merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat penting bagi kebutuhan hidup manusia. Bagi penduduk Indonesia kebutuhan akan protein ini masih jauh dari mencukupi, oleh karena itu salah satu jalan untuk mengatasinya dengan mempertinggi hasil produksi perikanan (Yoesoef ,1974).
            Ikan layang (Decapterus) termasuk komponen perikanan pelagis yang penting di Indonesia dan biasanya hidup bergerombol dengan ikan lain seperti lemuru (Sardinella sirm), tembang (Sardinella fimbriata, S. perforata), kembung (Rastrellinger kanagurta, R. Brachysoma), selar (Caranx sp), dan ekor kuning (Caesio sp). Di perairan Indonesia terdapat 5 jenis yang umum dijumpai yaitu Decapterus lajang, D. ruselli, D. macrosoma, D. kurroides dan D. maruadsi.
            Nama ilmiah ikan layang ialah Decapterus sp, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Deca berarti sepuluh dan pteron bermakna sayap. Jadi decapterus berarti ikan yang mempunyai sepuluh sayap. Nama ini kaitannya dengan ikan layang berarti jenis ikan yang mampu bergerak cepat di air laut, kecepatan tinggi ini memang dapat dicapai karena bentuknya seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Marga decapterus ini mempunyai tanda khusus yaitu sebuah finlet yang terdapat di belakang sirip punggung dan sirip dubur, mempunyai bentuk yang bulat memanjang dan pada bagian belakang garis sisi (lateral line) terdapat sisik- sisik berlengir (lateral scute). (Weber & Beaufort, 1993).

Phylum            : Chordata
Sub phylum     : Vertebrata    
Class                : Osteichthyes
Subclas            : Actinopteri      
Ordo                : Perciformes
Subordo          : Percoidei    
Family             : Carangidae
Genus              : Decapterus
Spesies            : Decapterus macrosoma       
Habitat dan Daerah Penyebaran
Daerah sebaran ikan layang sangat luas, yaitu di perairan tropis dan subtropis. Sebagian besar populasi ikan ini terdapat di Samudera Atlantik bagian utara sampai ke Cape Cod dan sebelah selatan sampai ke Brasilia. Di wilayah Indo-Pasifik ikan ini tersebar antara Jepang di bagian utara dan pantai Natal di bagian selatan. Menurut Handenberg (1937), di laut Jawa ikan ini tersebar mengikuti pergerakan salinitas dan persediaan makanan yang sesuai dengan hidupnya. Penyebaran kelima jenis ikan layang marga Decapeterus baik di perairan Indonesia maupun di mancanegara.
Decapterus macrosomai:
Indonesia: Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon, Selat Makasar, Selat Bali, Selat Sunda dan Selat Madura
Mancanegara: Jenis ikan ini tersebar luas di daerah Indo- Pasifik, mulai dari laut Merah dan pantai timur Afrika Selatan terus ke Aden, Sekotra, Zanzibar, Madagaskar, Arab Selatan, Malaysia, ke arah utara sampai ke Filipina, Pulau-pulau Riu Kiu dan Jepang (Weber & Beaufort, 1993).           
Aspek Biologi
Ukuran Panjang
Pencatatan ukuran panjang ikan bermanfaat untuk menaksir pertumbuhan ikan pada waktu tertentu (Burhanuddin et al, 1981).  Secara umum tubuh ikan dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu, kepala, badan, dan ekor.  Bagian kepala diukur dari ujung mulut sampai bagian belakang tutup insang (overculum), bagian badan mulai dari belakang overculum sampai pangkal sirip dubur dan bagian ekor mulai pangkal sirip dubur sampai dengan ujung ekor. 


 
Effendi (2002) menjelaskan bahwa pengukuran panjang ikan dapat dilakukan dengan cara – cara sebagai berikut :
1.      Panjang total (total lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai dengan ujung akhir bagian ekor.
2.      Panjang cagak (fork lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.
3.      Panjang baku (standart lenght) : Panjang ikan yang diukur mulai dari yang terdepan sampai ujung terakhir dari tulang punggung.

Hubungan Panjang Berat

            Menurut Bayliff (1966) dalam Merta (1993) hubungan panjang berat ikan dan distribusi panjangnya perlu diketahui terutama apabila diperlukan konversi statistik hasil tangkapan dalam berat ke jumlah ikan, menduga besarnya populasi dan laju – laju kematiannya. Vanichkul dan Hongskul (1966) dalam Merta (1993) juga menyatakan bahwa hubungan panjang berat juga diperlukan dalam mengatur perikanan, yaitu menentukan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan yang ukurannya tidak dikehendaki tidak ikut tertangkap. Selain itu menurut Mauck dan Summerfelt (1970) dalam Merta (1993) kegunaan lain dari hubungan panjang berat ikan adalah untuk mengetahui koefisien kondisi dari ikan yang menunjukkan kegemukan relatif atau “well being” dari ikan yang bersangkutan.
            Perubahan panjang dan berat ikan erat kaitannya dengan perubahan bentuk tubuh ikan. Perubahan bentuk tubuh sering terjadi bersamaan dengan pertumbuhannya. Jadi jelas disini bahwa pertumbuhan erat hubungannya dengan pertambahan panjang dan berat ikan. Didalam perhitungan kurva pertumbuhan diperoleh dengan menghubungkan titik – titik yang menyatakan waktu pada sumbu x dan ukuran panjang atau berat ikan pada sumbu y (Djatikusumo, 1975).
            Hasil studi hubungan panjang berat ikan mempunyai nilai praktis yang   memungkinkan merubah nilai panjang kedalam harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya, yang dinyatakan dengan rumus   (Effendi, 1979):
                                                W = a L 3
            Namun menurut Hile (1936) dalam Effendi (1979) pertumbuhan ikan disertai perubahan bentuk tubuh, panjang, dan beratnya sehingga dapat dinyatakan dengan rumus:
                                    W = a L b (  a dan b konstanta )
            Selanjutnya Rousenffel dan Everhart (1953) dan Lagler (1961) dalam Effendi (2002) mengemukakan bahwa cara yang digunakan untuk menghitung panjang dan berat ikan adalah dengan menggunakan regresi, yaitu dengan menghitung dahulu logaritma dari tiap – tiap panjang dan berat ikan.
            Kriteria nilai pertumbuhan ikan berdasarkan harga b yang dikemukakan oleh Ricker (1975) dalam Effendi (1979) adalah sebagai berikut :
  1. Bila b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric negative.
  2. Bila b = 3 maka pertambahan panjang dan berat seimbang yang disebut tipe pertumbuhan yang isometric.
3.       Bila b > 3 maka pertambahan panjang tidak secepat pertambahn berat yang disebut tipe pertumbuhan yang allometric positive.

Faktor Kondisi

            Menurut Lagler (1961) dalam Effendi (1979) faktor kondisi atau ponderal indek adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Didalam penggunaan secara komersil maka kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan.
            Menurut Effendi (1979) harga satuan K akan terlihat kegunaannya apabila dibandingkan dengan individu lainnya atau antara satu kepada grup yang lain. Harga K itu berkisar antara 3 – 4 apabila badan ikan itu agak pipih. Sedangkan untuk ikan–ikan yang pipih harga K berkisar antara 1 – 2. Variasi harga K itu bergantung kepada makanan, umur, jenis sex dan kematangan gonad.
            Hal yang sama juga diungkapkan oleh Badrudin (1978) dalam Pawarti dan Herianti (1993) bahwa pectoral indek adalah suatu nilai kegemukan yang menyatakan tentang kegemukan ikan, nilai ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dalam artian kesuburan perairan, juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, maupun tingkat kematangan gonad.

Rasio Jenis Kelamin

Pengamatan jenis kelamin ikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari struktur populasi. Dengan mengetahui perbandingan jenis kelamin dapat diduga keseimbangan populasi yang ada dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu sediaan adalah   1 : 1, dengan demikian populasi dinyatakan dalam keadaan seimbang (Purwanto et al., 1986 dalam Effendie, 2002).         

Tingkat Kematangan Gonad

            Tingkat kematangan gonad merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang belangsung pada individu ikan dalam populasi yang dicirikan oleh adanya perbedaan ukuran diameter telur (Rustam et al, 1993).
            Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad ikan sangat diperlukan, antara lain untuk menentukan atau mengetahui perbandingan ikan yang masak gonadnya dengan yang belum dari stok yang ada dalam perairan, ukuran atau umur ikan pertama kali matang gonad, apakah ikan sudah memijah atau belum, kapan masa pemijahannya, berapa lama saat pemijahannya, berapakali pemijahannya dalam satu tahun, dan sebagainya (Effendi, 1979).
Burhanuddin et al, (1981) juga menambahkan bahwa pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad ikan diperlukan untuk mengetahui musim-musim ikan memijah, sehingga penangkapannya dapat dikontrol.  Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kematangan gonad ikan yaitu dengan mengukur panjang gonad dan rongga tubuh, di samping melihat dengan mata saja warna gonad dan pembuluh darah, serta dengan melihat ada tidaknya butir-butir telur.
Selain itu Holden dan Rait (1974) juga menyatakan hal yang sama bahwa pengetahuan tentang jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dari ikan merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi yang dapat juga dipergunakan untuk menduga ukuran ikan mencapai kematangan gonad, waktu dan tempat pemijahan
            Menurut Effendi (1979) bebarapa tanda yang dipakai untuk pembeda kelompok dalam penentuan tingkat kematangan gonad di laboratorium atau dilapangan diantaranya ialah :
a. Untuk ikan betina:  - Bentuk ovarium
                              - Besar kecilnya ovarium
                              - Pengisian ovarium dalam rongga tubuh
                              - Warna ovarium
                              - Halus tidaknya ovarium                                                                                                        - Ukuran telur dalam ovarium
                              - Kejelasan bentuk
                              - Warna dan ukuran telur
b. Untuk ikan jantan: - Bentuk testes
                                    - Besar kecilnya testes
                                    - Pengisian testes dalam rongga tubuh

Ukuran Pertama Kali Ikan Matang Gonad (Lm)

            Ukuran panjang pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi yang perlu diketahui dalam memanfaatkan suatu sumberdaya ikan. Dengan diketahuinya informasi tersebut maka dapat dijadikan sebagai suatu dasar pengelolaan sumberdaya ikan yakni pada ukuran panjang tertentu harus membiarkan sejumlah ikan untuk melakukan perkembangbiakkan sehingga kelestarian sumberdayanya dapat terjaga (Krissunari dan Hariati, 2000).
Menurut Widodo (1988) reproduksi adalah proses perkembangbiakkan jenis ikan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan generasinya. Proses perkembangbiakkan pada ikan dimulai pada saat mencapai tingkat kematangan gonad pada saat ukuran tertentu. Ukuran panjang pertama kali matang gonad sangat bervariasi diantara jenis ikan maupun dalam jenis ikan itu sendiri. Hal tersebut menurut Rusmaji (1990) dan Joseph (1963) dalam Zubaidi (1994) disebabkan antara lain karena perbedaan dalam hal kondisi lingkungan perairan, ketersediaan maksanan, suhu, salinitas, kecepatan pertumbuhan, dan juga waktu melakukan pengamatan. Menurut Nikolski (1963) dalam Krissunari dan Hariati (2000) faktor lingkungan yang sangat berperan adalah faktor makanan, sehingga apabila ikan – ikan muda yang belum matang gonad mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak maka ikan – ikan tersebut akan lebih cepat tumbuh dan mencapai kematangan gonad pada panjang tertentu.

Ukuran Pertama Kali Ikan Tertangkap (Lc)

            Ukuran pertama kali ikan tertangkap adalah panjang dimana 50 % ikan yang masuk jaring tertahan dan 50 % nya lolos lewat mata jaring. Penentuan nilai Lc sangat bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena dapat digunakan untuk menentukan ukuran mata jaring yang boleh dipergunakan dalam mengeksploitasi spesies ikan tertentu supaya dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan (Sparre & Vanema, 1999 ).
            Menurut Beverton & Holt (1957) dalam Sparre & Venema (1999) nilai Lc ini memiliki arti untuk ikan yang berukuran panjang dibawah nilai Lc, jumlah yang diestimasi kurang dari semestinya (under-estimated), sedangkan untuk ikan yang memiliki ukuran panjang lebih dari nilai Lc, jumlah yang diestimasi lebih dari semestinya (over-estimated).
 Aspek Perikanannya
Alat Tangkap Pukat Cincin
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna menggunakan pukat cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil.
            Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk (Sadhori, 1985).
Menurut Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan (2000) setiap perusahaan perikanan yang melakukan kegiatan usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan wajib memiliki IUP (Izin Usaha Perikanan), yaitu izin tertulis yang haruus dimiliki oleh perusahaan perikanan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan atau usaha penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan beserta alat penangkapan ikan sesuai dengan daerah penangkapan ikan dan jumlah kapal perikanan yang akan digunakan. Dan setiap perusahaan perikanan yang telah memiliki IUP, sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, wajib memiliki SPI (Surat Penangkapan Ikan)  bagi setiap kapal yang dipergunakan, yaitu surat yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP. Surat Penangkapan Ikan (SPI) diberikan untuk jangka waktu 1 tahun untuk perikanan demersal.

Selektifitas Alat Tangkap Pukat Cincin

Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri. Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk. Apabila hasil sampinganannya lebih banyak daripada hasil tangkapan utama maka alat tersebut tidak selektif (ayodhya, 1981).
Daerah Penangkapan
Ikan layang merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir di seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap baik dalam jumlah besar maupun sedikit. Daerah penangkapan utama ikan layang ialah Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon yang merupakan tempat pendaratan terbesar ikan ini. Dan Sulawesi selatan. Cara penangkapan tradisional ikan layang yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairaan tertentu sudah mulai berubah (Burhanudin et al 1984).
Daerah penangkapan ikan bagi nelayan di PPP Juwana, Pati di sekitar Utara Jawa. Jenis alat tangkap yang beroperasi adalah : pukat ikan, long line, purse seine, gill net, jaring udang.

Beberapa Aspek Yang Penting Diperhatikan Dalam Usaha Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil
Aspek Sumber Daya Ikan
Menurut Widodo et al. (1998), ikan- ikan pelagis kecil adalah ikan- ikan yang hidup di permukaan perairan yang merupakan bagian terbesar dari potensi sumber daya ikan di Indonesia. Dari potensi sumber daya ikan Indonesia yang diperkirakan sebesar 6,7 ton per tahun di antaranya 3,5 juta ton terdiri dari ikan- ikan pelagis kecil atau 52% dari total potensi. Sebagian besar dari produksi pelagis kecil berasal dari kawasan perairan Indonesia sebelah barat (Selat Malaka, Laut Jawa dan Selat Bali), sedang kawasan sebelah timur dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia belum diusahakan sepenuhnya.
            Jenis- jenis yang menunjang dan merupakan hasil tangkapan yang melimpah (bulk catch) karena populasinya cukup besar adalah ikan layang (Decapterus spp), ian siro (Amblygaster sirm), ikan tembang (Sardinella fimbriata), ikan teri (Stolephorus spp), dan ikan kembung (Rastrellinger spp).
            Selanjutnya menurut Widodo et al. (1998), jenis- jenis atau kelompok jenis tersebut umumnya penyebarannya terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia kecuali ikan lemuru yang hanya terdapat di Selat Bali dan sekitarnya. Di samping penyebarannya yang sangat luas, penangkapan sumber daya ikan pelagis kecil juga dipengaruhi oleh musim. Pada umumnya musim penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Indonesia berlangsung pada akhir musim Timur dan awal musim Barat. (sekitar bulan Agustus sampai dengan bulan November). Hal ini berhubungan dengan dengan kesuburan perairan akibat adanya umbalan (penaikan massa air dari lapisan dasar) pada musim Timur seperti yang terjadi di Laut Banda, dan Laut Jawa bagian Timur.
            Khusus di Laut Jawa, kondisi lingkungan perairannya dipengaruhi massa air Laut Cina Selatan dan Laut Flores. Selama musim Timur (Mei sampai Oktober) mendapat pengaruh massa air dari Laut Flores yang bersalinitas 34 sampai 35 permil, sedangkan pada musim barat (November sampai April) dipengaruhi oleh massa air yang bersalinitas 32 permil dari Laut Cina Selatan melalui Selat Karimata dan Selat Gaspar. Dari uraian ini memberikan kejelasan adanya pengaruh massa air yang berbeda yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan pelagis kecil di Laut Jawa berdasarkan ruang dan waktu (Hariati, 1988).
Aspek Teknis
Aspek teknis suatu usaha atau kegiatan di titik beratkan pada seberapa jauh keterkaitan antara usaha tersebut dengan sumber daya, tingkat ketrampilan, teknologi dan sarana yang dimiliki. Seperti yang telah ditegaskan oleh Widodo et al. (1998), bahwa dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam mempelajari dinamika populasi, tingkah laku, dan aspek- aspek biologi lainnya juga sangat diperlukan dalam usaha pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil. Hal ini sudah mulai terlihat, misalnya dalam mempelajari sifat- sifat gerombolan dan tingkah laku ikan pelagis kecil disekitar rumpon serta pengaruh daya tarik cahaya lampu dengan memanfaatkan teknologi akustik. Untuk menentukan populasi dan lokasi penangkapan secara geografis digunakan teknologi GPS (Global Positioning System) dan untuk komunikasi digunakan teknologi SSB (Single Side Band).
            Selanjutnya dukungan Ilmu Pengetahuna dan Teknologi tidak saja penting dan diperlukan dalam pengkajian aspek- aspek biologi, tetapi juga dalam pengkajian aspek- aspek teknologi penangkapan, pasca panen, sosial, budaya, dan ekonomi. Teknologi alat tangkap dan teknologi penangkapan serta alat bantu penagkapan terus berkembang, misalnya, teknologi penangkapan ikan pelagis kecil dengan menggunakan pukat cincin atau purse seineer yang dibantu oleh rumpon atau payaos dan cahaya lampu serta mesin bantu penarik jaring “net hauler” atau “line hauler” penggunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dari alat- alat tersebut dapat lebih mengefisienkan operasi penangkapan dan meningkatkan nilai tambah (Widodo et al, 1998).
            Menurut Husnan dan Suwarso (1988) penentuan kelayakan teknologi mempunyai beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan atau standar. Kriteria tersebut antara lain:
  1. ketepatan jenis teknologi yang digunakan dalam usahanya/ kegiatannya.
  2. Pengetahuan atau ketrampilan tenaga kerja setempat dan kemungkinan pengembangannya.
 Aspek Sosial Ekonomi
Sumber daya ikan pelagis kecil sangat penting arti dan peranannya dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang tidak saja merupakan sumber mata pencaharian dan kehidupan bagi sebagian besar msyarakat nelayan, tapi juga merupakan sumber bahan makanan dan sumber protein hewani bagi masyarakat. Selain itu juga merupakan lapagan dan kesempatan kerja yang cukup besar (Widodo et al., 1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa kriteria nelayan mempunyai ciri- ciri antara lain :
  1. Total pendapatan perkapita, baik yang berasal dari perikanan maupun di luar perikanan rata- rata masih lebih rendah dari garis kemiskinan.
  2. Unit usaha umumnya berskala kecil.
  3. Tenaga kerja keluarga yang dimiliki umumnya berlebihan sehingga masih dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga di luar perikanan.
  4. Pemilikan modal relatif kecil, sehingga kurang mampu untuk memiliki unit usaha yang lebih besar.
  5. Tingkat pendidikan, ketrampilan dan inovasi nelayan dan keluarganya terhadap teknologi baru relatif rendah.

No comments:

Post a Comment